Pendapat

Menjadi Pribadi Ihsan Pasca Ramadan

Oleh: Azmi bin Rozali

Bulan suci Ramadan telah pergi, namun sejatinya semangat yang ditanamkan selama sebulan penuh itu tak boleh turut menghilang. Ramadan bukan semata ritual tahunan, tetapi madrasah ruhani yang membentuk insan bertakwa—dan lebih dalam dari itu, melahirkan pribadi yang ihsan.

Dalam konteks masyarakat Melayu Riau, nilai ihsan bukanlah konsep asing. Ia senafas dengan falsafah hidup orang Melayu yang berakar pada Islam dan menjunjung tinggi adab, marwah, dan rasa malu (malu yang bertempat).

Ihsan dan Kebudayaan Melayu: Bertuhan, Beradat, dan Bermaruah

Dalam tradisi Melayu Riau, agama bukan hanya urusan ritual, tetapi menjadi asas dalam berbangsa. Seorang Melayu sejati adalah mereka yang berTuhan, beradat, dan bermaruah.

Tiga pilar ini bertaut erat dengan makna ihsan: bertuhan dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi, beradat dalam tata perilaku yang luhur, dan bermaruah sebagai cermin integritas diri.

Konsep ihsan sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad SAW—“engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya”—sejalan dengan semangat takut akan malu dan takut akan Tuhan dalam kebudayaan Melayu.

Maka, pasca Ramadan, kita dipanggil untuk menjadikan ihsan sebagai jalan hidup, bukan sekadar momen spiritual.

Pasca Ramadan: Ujian Nilai dalam Kenyataan Sosial

Namun tantangannya nyata. Di tengah kondisi sosial yang kompleks—ketimpangan ekonomi, budaya konsumtif, maraknya politik transaksional dan lemahnya penegakan hukum—nilai ihsan diuji keras.

Di Riau, yang tanahnya kaya namun rakyatnya belum semua sejahtera, nilai ihsan bisa menjadi koreksi moral bagi pejabat yang abai, pengusaha yang tamak, dan masyarakat yang mulai apatis.

Menjadi pribadi ihsan artinya menjaga integritas meski tidak diawasi, berlaku adil meski berkuasa, dan peduli meski tak mengharap balas. Ia adalah bentuk kesalehan sosial yang mesti mengakar di tengah masyarakat.

Membangun Peradaban: Dari Individu Ihsan ke Masyarakat Beradab

Jika setiap individu Melayu Riau kembali menjadikan ihsan sebagai ruh hidup—seperti yang diajarkan Ramadan—maka kita tak hanya menghasilkan insan bertakwa, tetapi membentuk masyarakat beradab. Inilah cita-cita besar budaya Melayu: membangun tamadun yang berbasis iman, ilmu, dan amal.

Budaya menjaga malu, menghormati orang tua, mengayomi yang lemah, dan bermusyawarah dalam keputusan adalah manifestasi ihsan dalam bentuk lokalnya. Ketika hal-hal ini hidup, maka masyarakat menjadi kukuh oleh adab, bukan semata aturan.

Ramadan Telah Pergi, Tapi Ihsan Harus Tetap Tinggal

Ramadan boleh berlalu, tetapi nilai-nilainya harus tinggal dan menjelma dalam perilaku. Ramadan mengajarkan kejujuran, kesabaran, dan pengendalian diri—semuanya adalah fondasi untuk menjadi insan ihsan. Dalam lanskap Melayu Riau, ini bukan tugas ringan, tetapi keniscayaan.

Menjadi pribadi ihsan adalah warisan ruhani dan budaya. Bukan sekadar jalan menuju surga, tetapi cara membangun dunia yang lebih baik—mulai dari dalam diri, keluarga, hingga ke ranah publik.

Maka, mari terus menyemai nilai ihsan dalam diri, sebagaimana pepatah Melayu mengingatkan: biar hilang emas di tangan, jangan hilang budi dan iman di badan. **

 

Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah tiga periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis.

Back to top button