IdulFitri: Kembali ke Titik Nol
Oleh: Eddy Asnawi
Tanpa terasa kita sudah memasuki penghujung ramadhan, tinggal hitungan hari, yang dinantikan pun akan tiba, hari raya Idul Fitri. Seiring datangnya Hari Raya Idul Fitri, kembali terdengar suara-suara takbir dan tahmid berkumandang di setiap masjid-masjid negeri muslim ,mengagungkan kebesaran Illahi. Terasa alunan takbir menggetarkan hati kaum muslimin yang baru saja melepas kepergian bulan Ramadhan yang sangat dirindukan dan dinantikan kedatangannya.
Apa petikan hikmah merayakan hari raya Idul Fitri yang setiap tahun kita laksanakan ditengah derasnya kehidupan modern seperti sekarang ini cenderung materialistis dan individualis. Orientasi hidup yang lebih mengedepankan egoisme, yang merugikan orang lain, yang bisa menyebabkan putusnya hubungan silatuhrahmi, seperti yang diramalkan oleh Alvin Toffler, bahwa zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya.
Tafsir Idul Fitri dimaknai “kembali kepada kesucian”, kembali ke fitrahnya , kembali kepada jatidiri kemanusiaannya. Bahkan Ali Syariati, menyebutkan sebagai deklarasi “kemerdekaan dan kemuliaan kemanusiaan” dengan mengumandangkan asma Allah swt saat Idul Fitri. Penulis melukiskan Idul Fitri, kembali ke titik nol.
Pada fitrahnya, Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka dan kemuliaan. Tidak ada perbedaan kehormatan yang didasarkan etnis, ras, dan golongan.Yang membedakan adalah nilai ketaqwaanya, sebagaimana kalamullah “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” ( QS. Al Hujurat: 13). Artinya nilai-nilai ruhaniah ketaqwaan seseorang pada penghambaan kepada Allah semata-mata menyebabkan dia memperoleh derajat kemuliaan dalam kehidupan di dunia ini. Bukan diletakan pada ukuran materi; berupa pangkat, jabatan, kekuasaan ataupun kekayaan yang dimiliki seseorang yang diperoleh dari penghambaan pada manusia.
Menyambut kemenangan di hari raya Idul Fitri bukanlah identik dengan kemewahan matrialistik, akan tetapi kemenangan spritual yang terbebas dari berhala-hala nafsu duniawi, dengan menampakan mencari jati diri atau hakekat hidup manusia yang berorientasi pada kebenaran dan kebaikan. Islam adalah agama yang hanif yang tidak membutuhkan kehidupan hedonisme . Hari Raya Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitrah. Kembali yang dimaksud adalah kembali pada kehidupan yang lurus yang membuat kita menjadi damai dan tertib.
Nabi Muhamad saw menyampaikan pesan,”Bahwa hari raya Idul Fitri bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba dan mewah tapi Idul Fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhanya semakin meningkat”. Nilai-nilai ruhaniah berupa ketaatan dan kepatuhan pada penghambaan kepada Allah itulah yang diutamakan yang disebut dengan Pakaian ketaqwaan yang mesti dilekatkan pada diri seorang muslim dalam menyambut hari Raya Idul Fitri. Dengan Bertaqwa itu akan menjadikan orang yang bertanggung jawab atas dirinya dan peka terhadap lingkunganya (sense of crisis). Pribadi taqwa lah yang dimaksud Rasulullah berhak menyandang Idul Fitri. “Minal Aidin wal Faizin” semoga kita termasuk orang –orang yang kembali kepada fitrah kemanusiaan dan orang-orang yang menang. Mohon maaf lahir dan batin.
Pekanbaru, 27 April 2022