Berita TerbaruHiburanPilihan Editor

Norham Abdul Wahab dalam Sajak-Sajak Sufistik Tuah Uzlah : Menyandarkan Diri Sepenuhnya kepada Allah

Oleh: Marzuli Ridwan Al-bantany*)

NAMA Norham Abdul Wahab, sesungguhnya tidak asing di telinga para penyair maupun sastrawan di tanah air. Kiprahnya dalam dunia sastra, juga tidak diragukan lagi – meski dalam beberapa kurun tahun dan waktu sebelum ini jarang sekali terdengar namanya muncul ke permukaan. Tapi semata-mata tak lenyap begitu saja di telan zaman, melainkan ia memilih untuk sementara waktu fokus dan menenggelamkan dirinya agar selalu dekat kepada Allah, Tuhan yang memberi hidup dan kehidupan.

Penulis sendiri, memang tidak banyak tahu mengenai sosok sastrawan yang aktif menulis puisi maupun cerpen yang satu ini, terutama terkait sepak terjangnya sebelum ia benar-benar ‘hijrah’, membatasi diri dari kehidupan dunianya yang penuh dengan hiruk pikuk dan segala macam hal yang melenakan. Tapi kemunculannya yang tiba-tiba dengan sejumlah karya sastra, bahkan karya-karya sastranya itu telah-pun ia terbitkan dalam tempo waktu yang singkat, tentulah membuatku merasa gerun dan angkat topi kepadanya.

Sememang begitulah – dan tak dinafikan lagi jika seorang sastrawan itu terkadang kehadiran karya-karyanya membuat siapapun terkejut dan tertanya-tanya. Dan Norham Abdul Wahab (NhAW), adalah salah seorang sastrawan asal Bengkalis, Riau, yang turut membuat geliat kesusastraan di bumi nusantara ini menjadi kian bercahaya, kian tersergam – datang dengan rentak dan ciri khasnya di tengah rimbun karya sastra yang memenuhi jagad tanah air.

Sebagai pujangga yang telah malang melintang dalam dunia tulis menulis (wartawan), terlebih NhAW sendiri sebelum ini pernah diamanahkan oleh manajemen Harian Pagi Riau Pos di Pekanbaru untuk mengurusi halaman budaya SAGANG yang terbit setiap Ahad pada waktu itu, tampaknya menjadikan ia amat terbiasa dalam melahirkan karya-karya sastra. Sajak dan cerita pendek, adalah dua genre karya sastra yang selalu ia tulis dalam beberapa tahun ini, yang sebelum ini frekwensi NhAW dalam menulis dua karya sastra ini boleh dibilang teramat jarang.

 Norham Abdul Wahhab bersama Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri dalam Festival Sastra Internasional Gunung Bintan II di Tanjung Pinang, Oktober 2019
Norham Abdul Wahhab bersama Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri dalam Festival Sastra Internasional Gunung Bintan II di Tanjung Pinang, Oktober 2019

Kehadiran NhAW, pria kelahiran 15 September dengan karya-karya sastranya yang secara tiba-tiba, baik di media cetak maupun di laman-laman sosial media, seperti di facebook – dan bagai seorang pendekar yang baru menyelesaikan ‘pertapaan’-nya inilah, kemudian membuat banyak pihak yang mengenalnya, seperti kembali menemukan hadirnya ia setelah sekian lama menghilang. Ternyata benarlah adanya, NhAW kini kembali lagi dengan karya-karya sastra yang menyentak perhatian publik, menyentak kalangan sastrawan, budayawan, dan bahkan sahabat-sahabat dekatnya. Mungkin juga para seniman, sastrawan-sastrawan handal dewasa ini yang dulu tak pernah sepi dari dorongan dan motivasi dari dirinya.

Tak tanggung-tanggung, sejumlah karya sastra NhAW seakan berlompatan ke tengah panggung dan gelanggang sastra di tanah air. Lihatlah betapa buku cerpennya Ulat Perempuan Musa Rupat (Sagang Intermedia, Pekanbaru, 2018), kemudian kisah kehidupan Baginda Nabi Muhammad dan para sahabat yang terhimpun dalam buku Seri Kisah Wak: Ketika Nabi Tak Berbagi (Tareshi Publisher, Jakarta, 2018), begitu amat memukau dan menyadarkan kita semua, bahwa NhAW benar-benar telah keluar dari persembunyiannya dan ingin berdakwah lewat karya-karyanya ini. Apalagi buku puisinya berjudul Preman Simpang yang diterbitkannya tahun 2018 lalu oleh TareSI Publisher, menjadi diantara buku puisi terpuji anugerah HPI 2018 di Jakarta.

Meski sama-sama berasal dari pulau Bengkalis, jujur aku dan bang NhAW sebelum ini memang belum pernah bertatap wajah dan berbincang-bincang panjang. Namanya hanya kukenal dari cerita teman-teman wartawan dan sejumlah politikus yang pernah menyaksikan ia maju dalam Pilkada Bengkalis beberapa waktu yang lalu. Komunikasi yang intens dan akrab dengannya hanya terjadi seiring menyatunya kami dalam dunia sastra yang belakangan ini berkembang sangat pesat di nusantara. Bahkan kami beberapa kali pernah bertemu dalam jamuan minum kopi di Bengkalis. Terakhir kali, pada pertemuan penyair di acara Festival Sastra Internasional Gunung Bintan II di Tanjung Pinang, sebuah pertemuan akbar para penyair nusantara yang digagas oleh sastrawan dan budayawan besar Riau-Kepri, Rida K Liamsi.

Kembali ke pangkal cerita, bahwa karya-karya sastra NhAW, utamanya sajak-sajak yang terhimpun dalam buku sehimpun sajak TUAH UZLAH karyanya itu, memang dinilai amat kental akan nuansa sufistiknya. Keseluruhan sajak-sajaknya ini seolah-olah menggambarkan betapa kedekatannya dengan Allah, menjadikan setiap persoalan yang dilewati selalu disandarkan kepada Dia pemilik kehidupan. Tak ada kata-kata yang muncul dari sebagian besar sajak-sajak NhAW dalam bukunya tersebut, melainkan menjadikan Allah sebagai tempat segala sesuatu itu dituju. Penyerahan serta pengakuan yang tulus bahwa Allah-lah sebaik-baik tujuan itu.

Bila kita hendak mencermati sajak-sajak NhAW dalam TUAH UZLAH, rasanya belumlah sempurna bila kita belum memahami dengan baik apa sesungguhnya makna yang terkandung dalam dua kata tersebut. Sebab, ‘Tuah dan Uzlah’, adalah dua kata yang selain indah dalam segi bunyi (rima) dan pelafalan, dari segi bahasa juga mengandung maksud yang dalam.

Menurut Kamus Besar Bahasa (KBBI) Indonesia, ‘tuah’ adalah kata benda yang berarti sakti; keramat, berkat (pengaruh) yang mendatangkan keuntungan (kebahagiaan, keselamatan dan sebagainya). Ia juga dapat diartikan dengan untung (yang bukan sewajarnya); bahagia; keistimewaan, keunggulan, kemasyhuran dan lain sebagainya. Sementara ‘uzlah’ adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna pengasingan diri untuk memusatkan perhatian kepada ibadah, seperti berzikir dan tafakur kepada Allah. Namun berdasarkan istilahnya, kata uzlah dapat diartikan mengasingkan diri dari kehidupan sosial dengan tujuan mendapatkan ketenangan spiritual dengan niat untuk menyucikan diri lewat ibadah serta amaliah-amaliah khusus lainnya.

Bertitik-tolak kepada makna kata tuah dan uzlah itu, maka sekurang-kurangnya dapatlah disimpulkan jika sajak-sajak yang terhimpun dalam buku TUAH UZLAH karangan NhAW ini, adalah sajak-sajak yang ditulisnya sebagai berkah dan pengaruh positif dari sebuah proses pengasingan dan penyucian diri yang dilakukannya dalam upaya mengenal Allah secara lebih dekat, melalui serangkaian ibadah dan aktivitas rohani yang dijalani.

Menjadikan Allah sebagai sandaran diri, serta mengajak sesiapapun pembaca agar selalu mengingat akan kebesaran Allah, merupakan ciri khas yang akan selalu ditemukan dalam sajak-sajak sufistik NhAW di buku TUAH UZLAH-nya ini. Salah satu sajak NhAW yang menurut pandanganku memiliki nilai sufistik yang cukup menggugah, adalah seperti sajaknya yang berjudul TUAH UZLAH, yang dapat ditemukan pada halaman 12, pada buku setebal 156 halaman yang diterbitkan TareBook, Jakarta pada Juni 2019 lalu itu.

Berikut petikannya:

TUAH UZLAH

//1

dikau uzlah ke temasik

jauh dari bisik, jauh dari berisik

bising hilang, hening yang datang

berdesakan di hati yang gerbang

tanjak di kepala, ke tanah diletak

pengganti marwah, surban ditegak

jubahmu lusuh, hati tak keruh

ratip berpeluh, ruh tersepuh

kini,

tak ada tempat lagi untuk darah

telah penuh, diisi kalimah

“tak kan melayu hilang di bumi,”

katamu

“hati masih malu berhadap ilahi,”

kataku

wajah tak bengis, tak nyabut keris

aku lihat,

langit sedang menyurah cahaya

senyap-senyap, tanpa suara

awan berkejaran, berlomba-lomba

di surbanmu mereka gembira

//2

tikam kerismu tak lagi merah

amis darah dah jadi pelimbah

dibuang ke laut, menemu maut

kini,

hanya allah yang hendak kausebut

meratap, meratip

langkah silatmu telah ternggut

MBoro, 2018

—-

Di sajak itu, sungguh terasa sekali nuansa sufinya. Baik lewat kata-kata yang dirangkai NhAW dalam struktur sajaknya, maupun dari sudut makna yang dapat dipelajari dan dipahami dari kata-kata yang indah dan sememangnya terpilih. Diksi-diksi yang apik dan ‘sangat Melayu’, seakan ikut menambah lagi keunikan dan keistimewaan sajak yang ditulis NhAW ini.

Terkait sajak-sajak yang yang ditulis NhAW ini, maka tak salah jika Fakhrunnas MA Jabbar, salah seorang penyair, wartawan senior dan seorang budayawan Riau itu pernah memberikan pandangan mengenai sehimpun sajak dalam buku TUAH UZLAH ini. Menurut Fakhrunnas, sajak-sajak NhAW memiliki kedalaman nilai sufistik yang berpijak di atas lokalitas Melayu Riau. Bahkan setiap upaya yang dilakukan NhAW dalam mencapai ‘derajat’ spiritual melalui sufistiknya, terasa amat beriringan dengan kedalamannya dalam menyelami palung-palung Melayu.

Sebagai penulis suka-suka, kuakui memang belum sepenuhnya tuntas membaca sajak-sajak NhAW dalam TUAH UZLAH yang dihadiahkannya kepadaku beberapa waktu lalu. Selain memang harus diperlukan kesiapan diri serta waktu yang sesuai untuk membacanya, dalam memahami sajak-sajaknya juga tidak mungkin dapat dilakukan hanya dengan sepintas lalu. Perlu beberapa kali pengulangan dalam pembacaan, agar apa yang dimaksud betul-betul dapat dipahami dan dimaknai dengan baik.

Sebagai sebuah karya sastra yang identik bercirikan sufistik atau amat kental akan nuansa tasawuf sebagai pengaruh dari proses pengasingan diri yang dilakukan penulisnya selama ini, tetapi bagaimanapun juga TUAH UZLAH karya NhAW ini tetaplah dianggap sebuah karya fiksi dalam geliat kesusatraan tanah air. Namun, lebih dari pada itu, barangkali sajak-sajak NhAW ini tentu dapat dijadikan sebagai renungan, upaya-upaya dalam menemukan kesejatian diri menjadi makhluk Tuhan, menjadi manusia yang selalu tunduk akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Menjadi hamba yang dapat memahami kudrat dan iradatnya yang sangat terbatas, tersebab Yang Maha Qudrat dan Maha Iradat itu tentunya hanyalah Dia, Allah Yang Maha Segala-galanya.

Tahniah bang NhAW. Sajak-sajakmu dalam TUAH UZLAH ini sekurang-kurangnya mengingatkan aku agar selalu dekat dan selalu membesarkan Allah, Tuhan yang telah menitipkan hidup buat kita. Aku sadar, bahwa segala apa yang kita perbuat di atas muka buminya ini, suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Termasuk pula atas sisa-sisa usia yang kita miliki hari ini.

Bengkalis,

27 Januari 2020

*) Marzuli Ridwan Al-bantany, Sastrawan, Penulis buku Menuju Puncak Keindahan Akal Budi. Bermastautin di Bengkalis, Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button