UIGHUR DAN KEDAULATAN KEMANUSIAN
Oleh: Prama Widayat
ISU UIGHUR ditanggapi beragam oleh seantero manusia yang hidup saat ini, baik itu mereka yang waras dan setengah waras, kalau disebut tidak waras nanti ada yang tersinggung. Persekusi, penyiksaan, penindasan, pemerkosaan dan kalimat negatif lainnya yang keluar dari mereka yang mengutuk dan mengecam perbuatan yang dilakukan oleh rezim pemerintah Republik Rakyat China (Tiongkok). Namun di sisi lainnya mereka yang setengah waras mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi terjadi, itu hanya gorengan media yang pro Amerika serikat karena sakit hati dalam perang dagang dengan Tiongkok. Maka dari itu isu Uighur terus mereka manfaatkan untuk menjatuhkan Tiongkok sehingga berdampak pada Boikot produk Tiongkok.
Kelompok yang pro pada pemerintah Tiongkok ini selalu mengatakan bahwa pemeluk agama Islam begitu damai di Tiongkok, toleransi beragama sangat terasa. Adapun yang dialami oleh umat islam Uighur yang tinggal di Xinjiang merupakan kejadian beberapa tahun yang lalu, mereka yang ditangkap adalah teroris dan kelompok radikal. Camp-camp yang disebut media barat itu hanyalah tempat pendidikan bagi mereka yang terpapar radikal dan perlu dilakukan re-edukasi sehingga mereka kembali menjadi manusia yang loyal kepada pemerintahan Tiongkok.
Radikal
Kata-kata radikal dan teroris adalah stempel yang melekat kepada mereka yang membangkang kepada pemerintahan, ini sama juga terjadi di tanah air Indonesia dan orang-orang yang pro kepada pemerintah Tiongkok juga sama pro kepada rezim Indonesia saat ini yang sedang getol-getolnya jualan “radikalisme” sebagai barang dagangan. Tiongkok dan Amerika perang dagang secara ekonomi, sedangkan kita perang dagang “kata-kata radikal”. Seolah-olah mereka yang menjalankan perintah agama secara total dianggap orang yang terpapar radikalisme.
Hal ini yang terjadi di Xinjiang kepada umat islam Uighur, mereka selalu dilabeli kelompok radikal karena ingin memisahkan diri dari pemerintah Tiongkok sehingga dengan dasar cap radikal maka mereka diberlakukan bagaikan binatang bahkan binatangpun tidak akan sanggup memberlukan bangsanya seperti yang dialami etnis Uighur, binatang sendiri tahu kapan dia akan menyerang dan bertahan.
Beragam argumentasi yang coba dibangun oleh media dan kelompok pro Tiongkok untuk membenarkan aski dan perlakuan barbar mereka kepada etnis Uighur, mulai dari kelompok afiliasi mereka, umat islam yang pro kepada mereka dengan selalu membangun kontra opini bahwa islam damai di Beijing dengan kebebasan beragama dan jauh dari kelompok radikal.
Lantas jika label radikal melekat pada seseorang yang mengkritik pemerintah maka dibenarkan dilakukan penyiksaan yang tidak berprikemanusian dengan memisahkan anak dengan orang tuanya, suami dan istri. Tidak ada pembenaran apapun yang dilakukan untuk menyiksa manusia atas kejahatan dilakukannya, apalagi itu kejahatan versi pemerintahan
Hak kemanusiaan
Berbeda tempat maka akan berbeda perlakuan, jika di Xinjiang etnis Uighur minta merdeka karena mereka selalu ditindas oleh pemerintah Tiongkok maka penyiksaan akan mereka terima dengan sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Kalau di Indonesia kelompok separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang nyata-nyata ingin merdeka dari Indonesia karena menganggap pemerintah Indonesia menjajah papua dan tidak berlaku adil terhadap Papua dengan mengeruk kekayaan alam Papua sementara masyarakat Papua tidak mendapatkan perhatian. Kelompok separatis ini hanya disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) dan tidak pernah ada cap radikal ataupun teroris kepada mereka dan pemerintah Indonesia masih punya perikemanusiaan terhadap saudara-saudara mereka di Papua.
Apakah ada camp-camp penyiksaan di Papua, apakah ada anak-anak dipisahkan dari orangtuanya, apakah ada suami dan istri dipisahkan untuk dilakukan re-edukasi, apakah ada pelarangan agama bagi orang-orang papua. Sekarang mereka yang waras tentu akan membandingkan dua permasalahan ini karena sama-sama minta merdeka tetapi berbeda perlakuan. Kita tidak membahas terlalu jauh tentang hak-hak mereka untuk minta merdeka tetapi lebih kepada sisi kemanusiaan.
Piagam PBB Universal Declaration of Human Rigth tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot Paris sangat jelas dan terang benderang dalam melindungi hak kemanusiaan seorang manusia, bahkan dalam kondisi perang sekalipun tidak diperkenankan untuk membunuh wanita, anak-anak dan orang tua apalagi dalam kondisi bukan perang. Lalu apakah sekarang harga hak kemanusiaan itu apakah sudah tidak ada lagi, begitu mahalnya sisi kemanusiaa seorang manusia sehingga siapapun yang berkuasa berhak secara legal untuk melakukan penyiksaan, pemerkosaan dan merampas hak-hak beragama individu.
Apakah Piagam PBB itu hanyalah sebatas simbol untuk melindungi kepentingan negara tertentu yang jika mereka berbuat maka piagam itu tidak berlaku, namun ketika terjadi kepada negara kecil maka segala macam sangsi hingga embargo diberlakukan. Kita tunggu apakah PBB berani memberikan sangsi kepada Tiongkok atas kejahatan kemanusian yang mereka lakukan sehingga kedaulatan kemanusiaan itu masih ada harapan untuk ditegakkan.
** Penulis adalah Alumnis HMI dan Dosen Universitas Lancang Kuning