Radikalisme Vs. Patriotisme
Penulis: Prama Widayat
Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan hiruk-pikuk berita tentang radikalisme sampai pada kontroversi penggunaan cadar dan celana cingkrang. Jika pada akhirnya bangsa ini hanya menghanyutkan energi untuk membahas radikalisme yang mengarah kepada kelompok agama tertentu maka sangat lemah pemahaman kita sebagai bangsa yang mengaku Pancasilais dimana semua itu sudah termaktub dalam lima sila yang sudah disepakati
Ketuhanan yang maha esa sebagai sila pertama, apakah masih kurang jelas bagi kita untuk memahami kontek hidup beragama yang senantiasa sudah dijamin oleh negara tanpa intimidasi dan kekerasan yang sifatnya fisik maupun mental. Tidak ada tempat dalam agama untuk menghalalkan kekerasan atas nama agama, jika kita mengaku umat beragama, sudah barang tentu wajib hukumnya mempelajari nilai-nilai dasar agama yang kita pilih sebagai pedoman hidup. Celakanya, kita hanya sibuk pada urusan kulit luar yang selalu menjadi pertentangan tanpa mau belajar pada agama yang sudah dipilih. Termasuk penggunaan cadar pada wanita muslimah, celana cingkrang pada laki-laki muslim, pemakaian salib pada umat kristiani dan simbol agama pada agama lainnya adalah bagian dari saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang tidak harus dipermasalahkan baik atas nama pribadi maupun atas nama negara.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, sikap saling menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Persatuan Indonesia diimplementasikan dengan menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara merupakan sikap patriotisme yang sudah mulai redup karena kecintaan terhadap kelompok lebih kental yang pada ujungnya terjadi gesekan horisontal sesama anak bangsa. Cinta tanah air diwujudkan dengan mencintai produk dalam negeri, menghidupkan ekonomi masyarakat karena menjadi tamu dinegeri sendiri merupakan kegagalan kita dalam membangun ekonomi.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dalam wujud mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama maka dari itu adanya wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang merupakan pengambilan keputusan yang tidak mengedepankan musyawarah dengan pihak terkait seperti MUI, Ormas-ormas Islam dan Tokoh agama sehingga wacana tersebut menjadi liar dan jika tidak segera dihentikan maka kepentingan negara akan semakin pudar karena dianggap menjadi pesanan kelompok tertentu.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mengembangkan perbuatan-perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong. Bersikap adil terhadap semua golongan, suku, agama, kelas sosial sehingga adil betul-betul meresap hingga keakar rumput. Menjaga keseimbangan hak dan kewajiban karena semua warga negara mempunyai hak yang sama dimata hukum dan kewajiban negara memberikan kepastian hukum yang adil tanpa ada pesanan pihak manapun yang bisa menodai rasa keadilan dimata masyarakat. Menghormati hak-hak orang lain termasuk hak menjalankan perintah agama seperti shalat, zakat, sedekah, bercadar, bercelana cingkrang, merayakan hari besar keagamaan tanpa perlu dibatasi oleh negara apapun itu dalihnya. Memberikan pertolongan pada orang lain, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak boros, tidak bergaya hidup mewah, tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, bekerja keras, menghargai hasil karya orang lain dan bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial
Radikalisme
Jika kita mengacu kepada makna yang tersirat dalam sila pertama pada pancasila tentunya bangsa ini tidak akan gaduh dengan kata “radikalisme” yang akhir-akhir ini dijadikan “viral” oleh kepentingan politik tanpa mendalami apa sebenarnya makna radikal tersebut. Apakah orang-orang yang senantiasa menjalankan agama secara total akan dilabeli radikal, tentu jika ini yang menjadi dasar maka konflik antara pemeluk agama akan semakin tajam dengan pemerintah karena stigma negatif ini sudah melekat sejak di awal pemerintahan jokowi diperiode pertama.
Padahal permasalahan bangsa ini bukan radikalisme agama tetapi radikalisme ekonomi, kenapa dalam ekonomi tidak pernah disebut kata-kata radikal. Bukankan dengan memberikan pekerjaan kepada tenaga kerja asal RRC disetiap proyek yang berasal dari RRC adalah radikalisme dalam bidang ekonomi karena seharusnya investasi memberikan kesempatan bagi warga negara kita untuk mendapatkan pekerjaan dari proyek padat karya. Dengan membanjirnya komoditas import sehingga hasil pertanian petani dihargai murah dipasaran karena harga pangan import lebih murah, apakah ini bukan disebut radikal juga.
Belum lagi iuran BPJS yang naik hingga 100 persen diawal tahun 2020, disaat masyarakat mengeluhkan prosedur BPJS yang rumit, banyak obat dan penyakit yang tidak ditanggung yang tidak disosialisasikan kepada masyarakat, belum lagi penunggakan BPJS kepada rumah sakit. Dengan dalih BPJS mengalami defitit sehingga dibenarkan untuk menaikan Iuran tanpa pernah BPJS menerangkan berapa biaya dikeluarkan untuk membayar klaim dan berapa untuk membayar gaji, lantas apakah ini bukan radikal dalam bidang kesehatan.
Patriotisme
Jika pemerintah mendalami makna sila ketiga pada pancasila tentunya tidak akan muncul sentimen negatif pada agama tertentu yang berkedok “pembinaan”, sikap patriotisme yang musti kita “viral” kan sehingga memunculkan kesejukan dan ketentraman dalam kehidupan beragama dan bernegara. Petani menjerit karena panen mereka dihargai murah, buruh menjerit karena upah tidak layak sedangkan kebutuhan hidup semakin meningkat. Sikap kesatria dari seorang pemimpin untuk menghentikan “industri radikalisme” dalam bentuk apapun dari bidang sosial, politik, ekonomi, hukum dan agama.
Jangan lagi ditambah kegaduhan sosial ini, kerena bangsa ini sudah cukup terbelah pasca pemilihan umum April tahun 2019. Kebutuhan bangsa ini bukan sekedar pencitraan, kartu-kartu ajaib, bagi-bagi jabatan antara penguasa dan opisisi, pejabat negara berhenti mengeluarkan keputusan-keputusan yang tidak mencerminkan sila keempat pancasila karena pancasila bukan untuk sekedar deklarasi “aku pancasila”. Tunjukkan kepada publik bahwa pemimpin negeri ini memiliki sikap patriotisme membangun ekonomi bangsa, penegakan hukum tanpa tebang pilih, keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana cita-cita para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk republik ini.
**Penulis adalah Aktivis dan Dosen Universitas Lancang Kuning Pekanbaru