Inklusivitas Rumah Jahit Lestari dengan Pekerja Disabilitas dan Lansia
Narasi dan Foto: Abbas Abdurrahman
Cakrawalatoday.com — Lelaki muda itu melangkah pasti membawa potongan kain untuk dijahit. Ketiak kirinya menjepit kruk yang membantunya berjalan. Ia tersenyum ketika saya menyapa.
Dia lalu duduk di depan mesin jahit dalam ruangan seukuran kamar kos biasa. Di ruangan itu ada dua mesin jahit lain, di tiga sisi berbeda. Potongan kain ditaruh pada bagian kiri mesin, lalu kruk disandarkannya di dinding kaca, di belakang posisinya ia duduk.
Namanya Juari, berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Usianya baru 26 tahun, usia produktif. Namun kaki kirinya terpaksa diamputasi hingga bagian atas lutut karena penyakit.
Juari adalah satu dari puluhan pekerja di Rumah Jahit Lestari (RJL) . Sebuah kelompok usaha bersama yang kini berbentuk perseroan terbatas di Desa Tambusai Batang Dui, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Juari terlihat cekatan menyambung potongan-potongan kain di depannya dengan mesin jahit listrik. “Terakhir ini sudah sekitar tiga tahun. Sebelumnya sudah pernah juga bekerja di sini, tapi sempat berhenti,” ujar Juari kepada saya, Kamis pagi, 22 Agustus 2024, menceritakan masa kerjanya di RJL.
Di seberang posisi mesin jahit Juari, Atuk sedang menekuni jahitannya. Lelaki berusia 67 tahun itu bernama Zulhelmi. Di RJL saat ini, ia adalah satu-satunya pekerja lanjut usia (lansia).
Kebaradaan Juari dan Atuk di RJL bukanlah tak disengaja. Bukan pula karena rasa kasihan dari Suci Sustari. Keduanya mampu bekerja dengan standar yang baik.
“Rumah Jahit Lestari ini saya dirikan dengan konsep berbagi, Pak. Berbagi itu maksudnya Rumah Jahit Lestari itu berjalan secara inklusif. Inklusivitas itu dia tidak memandang usia,” terang Suci kepada saya melalui pesan suara, Jumat (23/8/2024).
“Kita bisa bicara kalau mengenai Atuk, Pak Zul, ini umurnya kan sudah 67 tahun. Kalau kita bicara mengenai kuantitas, beliau itu sudah tidak memenuhi kuantitas lagi, dalam arti target produksi yang harus beliau capai setiap hari,” tambah Suci.
Suci mengakui baik Atuk maupun Juari memang tidak memenuhi kuantitas produksi harian yang sama dengan pekerja lain. Namun, Suci mengingat kembali tentang konsep berbagi, di mana RJL berdiri dengan tidak mengutamakan semata-mata bisnis tetapi juga berbagi dengan lansia dan disabilitas. “Maka kita tidak bisa bicara tentang kuantitas,” ucapnya.
RJL didirikan Suci Sustari bersama suaminya Yan Sofyan pada 27 Mei 2021. Dosen di Universitas Bina Dharma, Palembang beralih menjadi pengusaha usai mengikuti suaminya yang pindah kerja ke Duri, Riau.
RJL kemudian semakin berkembang setelah mendapatkan bantuan dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja (WK) Rokan melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) pada 2021 dan 2022. Saat ini, RJL mampu memproduksi baju aman tahan api (wearpack) hingga 1.500 buah perbulan. Pemesannya tidak hanya di Riau, namun juga dating dari Provinsi Jambi.
Awal RJL berdiri dimulai dari Balai Latihan Kreativitas Anak Melayu Sakai (Bekams). Di situ Suci bersama kawan-kawan mencari cara bagaimana anak-anak yang putus sekolah terutama anak perempuan bisa punya keahlian menjahit. Sebab, di Duri biasanya orang-orang yang mau bekerja pasti yang ditanya ijazah. Padahal, menurut Suci, menjahit itu tidak ada hubungannya dengan ijazah.
Inklusivitas RJL sudah dijalankan Suci sedari awal ia memulai usaha. Ketika itu ia baru mampu menyewa satu rumah toko (ruko) dan memaksimalkan 5 unit mesin jahit bantuan PHR. Dalam tempo cepat, ia sanggup menyewa tiga ruko berderetan dengan jumlah tenaga kerja 41 orang, terdiri dari 7 tukang jahit (tinggal di ruko), 14 orang ibu-ibu rumah tangga yang membawa jahitan ke rumah masing-masing, 3 tukang setrika, 11 orang anak-anak putus sekolah di bagian akhir (finishing), 4 orang tukang potong kain, dan 2 orang bertugas sebagai kualiti kontrol.
Waktu itu juga ada anak-anak magang yang tak tamat sekolah, ada juga yang sedang mengambil paket C. Anak-anak seperti inilah yang ditampung RJL, dilatih menjahit. Sehingga mereka bisa bekerja tanpa perlu ijazah.
“Jadi, itu dasar saya dan dan suami tetap mempertahankan Pak Zul Atuk yang walaupun sudah lansia, secara kuantitas dia tidak memenuhi target produksi tetapi secara kualitas beliau masih memenuhi standar menjahit sesuai dengan standar Rumah Jahit Lestari,” ungkap Suci.
Hal sama juga diberikan kepada Juari, untuk tetap bersama Rumah Jahit Lestari. Walaupun dari segi kecepatan produksi, Juari karena posisinya yang disabilitas dia tidak bisa memenuhi secara kuantitas.
“Namun, Rumah Jahit Lestari terus berkomitmen untuk terus bersama para disabilitas ini,” pungkas Suci.**