Berita Terbaru

TOD, Pengungkit Kualitas Hidup Masyarakat

Oleh: Mayke Kristika Antony Putri *)

Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan penduduk meningkat secara masif. Sehingga, kepadatan penduduk semakin hari semakin bertambah di berbagai wilayah. Tentu, perkotaan menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak paling signifikan. Beberapa dampak yang dipicu oleh kepadatan wilayah berupa turunnya kualitas lingkungan hidup, munculnya kawasan-kawasan kumuh pada perkotaan dengan hunian-hunian yang tidak layak, dan juga kemacetan lalu lintas.

Menurut data dari Numbeo (database terbesar global) tentang skor Indeks Kemacetan Lalu Lintas, Kota Colombo, Sri Lanka merupakan kota paling macet di Asia dengan perolehan skor sebesar 307,66 poin pada tahun 2021. Sedangkan Jakarta menduduki posisi kedelapan kota termacet di Asia dengan skor sebesar 254,63 poin. Melihat kondisi seperti ini, diperlukan solusi konkret yang dapat meminimalkan ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan minat masyarakat dalam memanfaatkan kendaraan umum. Salah satu solusinya yaitu merancang pembangunan kawasan berbasis TOD.

Apa itu TOD?
Transit Oriented Development atau lebih dikenal dengan sebutan TOD merupakan pengembangan yang mengintegrasikan desain ruang kota untuk menyatukan orang, kegiatan, bangunan, dan ruang publik melalui konektivitas yang mudah dengan berjalan kaki ataupun bersepeda serta dekat dengan pelayanan angkutan umum yang sangat baik ke seluruh kota.

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit, dijelaskan bahwa Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit atau Transit Oriented Development adalah konsep pengembangan kawasan di dalam dan di sekitar simpul transit agar bernilai tambah yang menitikberatkan pada integrasi antarjaringan angkutan umum massal, dan antara jaringan angkutan umum massal dengan jaringan moda transportasi tidak bermotor, serta pengurangan penggunaan kendaraan bermotor yang disertai pengembangan kawasan campuran dan padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi.

TOD biasanya mencakup pemberhentian atau transit pusat seperti stasiun kereta api, terminal bus, maupun bandara yang di sekelilingnya didesain sebagai area campuran dengan kepadatan tinggi, di mana tingkat kepadatan dengan kepadatan sedang dan rendah menyebar dari pusat tersebut. Daerah yang terpadat dari TOD biasanya terletak dalam radius 400-800 meter di sekitar pemberhentian transit pusat, karena dianggap skala yang tepat untuk pejalan kaki. Oleh karena itu, TOD harus ditempatkan pada jaringan utama angkutan masal, koridor jaringan bus/BRT dengan frekuensi tinggi, dan jaringan pegumpan bus (feeder bus) yang waktu tempuhnya kurang dari 10 menit dari jaringan utama angkutan massal.

Kawasan TOD seperti ini dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi para pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna transportasi publik. Sehingga, mempermudah akses ke tempat-tempat tujuan dengan gaya hidup yang lebih baik. Konsep TOD dianggap sebagai salah satu konsep perancangan kota yang berkelanjutan untuk masyarakat dan dapat menjadi salah satu alternatif perancangan kota untuk pertumbuhan perekonomian daerah. Perkembangan kota yang berorientasi TOD berpotensi untuk mengurangi biaya transportasi rumah tangga dan mengatasi permasalahan lingkungan.

Prinsip dan manfaat TOD
Dalam jurnal yang berjudul The New American Metropolis, Calthrope menjelaskan bahwa pada dasarnya prinsip TOD untuk menempatkan sarana komersial, permukiman, perkantoran, serta sarana umum dan sarana sosial dalam jarak tempuh berjalan kaki dari pusat transit, menciptakan jaringan jalan yang pedestrian friendly yang menghubungkan berbagai tujuan untuk bepergian lokal, melestarikan habitat dan ruang terbuka dengan kualitas yang baik, membuat ruang publik sebagai fokus dari orientasi bangunan dan kegiatan masyarakat, dan juga untuk mendorong penggunaan lahan dan pengembangan kawasan sepanjang koridor transit.

Pengembangan kawasan dengan konsep TOD juga perlu memastikan akses yang mudah dari tempat tinggal masyarakat ke berbagai moda transportasi umum, memudahkan pengguna transportasi umum untuk berpindah-pindah jalur, dan berganti moda transportasi sesuai kebutuhan mereka.

Untuk memudahkan pengguna kendaraan pribadi berpindah ke alat transportasi massal, TOD juga mensyaratkan adanya fasilitas park and ride yang memadai. Selain bisa menampung kendaraan dalam jumlah banyak, park and ride juga harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang seperti tempat makan, mini market, toilet, dan tempat ibadah. Selain itu, lokasinya pun juga harus diperhitungkan dengan cermat agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan penyediaan fasilitas penunjang seperti itu, maka terciptalah lapangan pekerjaan baru yang dapat mengurangi tingkat pengangguran di suatu wilayah.

Di samping itu, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menjelaskan bahwa konsep TOD memiliki sejumlah manfaat seperti meningkatnya angka pemakaian transportasi publik. Dengan begitu, tingkat kemacetan pada suatu wilayah otomatis akan menurun dan angka kecelakaan lalu lintas akan berkurang karena jumlah kendaraan tidak lagi melebihi kapasitas jalan. Tidak hanya itu, berkurangnya ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi akan membuat meningkatkan kualitas lingkungan karena penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit dan gas emisi menjadi lebih terkontrol.

Mengintip Pembangunan TOD di Dunia
Jika melihat di Benua Amerika Selatan, TOD di Curitiba yang dibangun sekitar tahun 1960-an dinilai sebagai konsep TOD paling awal dan paling sukses di Brasil. Pemerintah Brasil tercatat sebagai negara yang sejak lama menyadari pentingnya pembangunan yang mengintegrasikan daerah-daerah yang berkepadatan tinggi dengan transportasi massal seperti Bus Rapid Transit atau BRT. Pemerintah Brasil mendefinisikan TOD sebagai pengembangan yang berada di area padat dengan perumahan, ritel, ruang publik dengan desain yang memudahkan akses untuk transit, bersepeda, maupun berjalan kaki.

Bergeser ke Benua Asia, Hongkong dinilai sebagai negara terbaik dalam penerapan TOD. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, tingkat kepemilikan mobil di Hongkong terbilang sangat rendah karena mayoritas warganya beraktivitas menggunakan kendaraan umum. Pemerintah setempat, secara bersamaan menerapkan pembangunan stasiun kereta api dengan pembangunan perumahan di sekitarnya, di antaranya yaitu Lohas Park, Olympian City, dan Union Square.

Selain Hongkong, konsep TOD yang diterapkan di Jepang sejak tahun 1972 hingga kini dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan sarana transportasi dan tata kelola. Jepang telah menerapkan pembangunan dengan konsep TOD di beberapa kota, tidak hanya di Tokyo, tetapi juga seperti di Nagoya, Fukuoka, dan Kokura di mana semua terminal dan stasiun telah dikembangkan dengan konsep TOD. Jepang dinilai sebagai negara yang konsisten dan memiliki perencanaan yang berkesinambungan dalam pengembangan TOD.

Di Asia Tenggara sendiri, salah satu contoh negara yang sukses menerapkan konsep kawasan Transit Oriented Development (TOD) yaitu Singapura. Keberhasilan penerapan konsep kawasan TOD membuat banyak warga Singapura dimanjakan dengan fasilitas dan infrastruktur, terutama transportasi massal yang terintegritas dengan hunian dan tempat aktifitas sehari-hari. Adanya konsep kawasan TOD ini telah mendorong masyarakat untuk memusatkan aktivitas sehari-hari disekitar stasiun transit atau paling tidak masih di dalam koridor transit.

Lalu, Seperti Apa Pengembangan TOD di Indonesia?
Beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah berfokus pada pengembangan kawasan berbasis TOD. Salah satu contoh implementasi konsep TOD yang dapat kita lihat yaitu di DKI Jakarta. Pada tahun 2015, ketika jalur MRT pertama kali di bangun di Jakarta, Indonesia mulai memaksimalkan pemanfaatan lahan di sekitar stasiun untuk pengembangan properti dengan kepadatan tinggi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengedepankan konsep pengembangan kawasan berbasis transit (TOD), terutama dalam pembangunan 12 stasiun Kereta Api Bawah Tanah (KABT) tahap pertama dengan rute Lebak Bulus – Dukuh Atas. Tetapi, klasifikasi untuk masing-masing 12 stasiun tersebut tetap dibuat berbeda. Dari 12 stasiun tersebut, stasiun yang akan dijadikan TOD maksimum yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Fatmawati, Stasiun Cipete, Stasiun Blok M, dan Stasiun Dukuh Atas. Lalu, tiga stasiun seperti Senayan, Istora, dan Bendungan Hilir akan dikembangkan dengan pola TOD medium. Sedangkan, empat stasiun lainnya yaitu Haji Nawi, Blok A, Sisingamangaraja, dan Setiabudi akan dikembangkan dengan konsep TOD minimum.

Stasiun Lebak Bulus merupakan stasiun pertama di koridor selatan – utara yang diharapkan dapat menjadi magnet bagi masyarakat dari daerah penyangga seperti Tangerang Selatan yang banyak beraktivitas di Jakarta di mana para penumpang ini terbiasa menggunakan kendaraan pribadi dari area permukiman padat yang akan berkontribusi pada kemacetan lalu lintas. Kehadiran konsep TOD yang memiliki sejumlah fasilitas penunjang mobilitas penumpang serta memiliki sistem transportasi pengumpan dari area tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah pengguna atau calon penumpang transportasi berbasis rel kereta. Sehingga, masyarakat dapat mulai meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dalam mobilitas sehari-harinya.

Sedangkan kehadiran konsep transportasi terintegrasi di Stasiun Dukuh Atas, akan mengatur arus penumpang yang menggunakan lima moda tranportasi berbeda di kawasan ini, seperti MRT Jakarta, Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, kereta bandara (railink), kereta komuter (commuterline), dan kereta Light Rapid Transit (LRT) yang sedang dikembangkan oleh pemerintah. Pergerakan manusia ini akan didukung oleh sistem pedestrianisasi kawasan, baik berupa infrastruktur pedestrian yang baru maupun upgrade dari yang sudah ada serta ruang-ruang terbuka yang akan dibentuk.

Kawasan Cipete (yang mencakup Stasiun Cipete, Haji Nawi, dan Blok A) akan mendorong kawasan perdagangan yang saat ini tumbuh dengan konsep shopping street serta meningkatkan aksesibilitas di setiap bagian dari kawasan tersebut sehingga penyebaran kegiatan tidak hanya terjadi di jalan utama. Peningkatan aksesibilitas tersebut diutamakan untuk pejalan kaki dan non-motorized vehicles baik melalui jalan yang ada maupun menggunakan lahan-lahan milik pribadi melalui metode public use private own. Pengembangan kawasan transit terpadu ini diharapkan menjadikan MRT Jakarta atau moda transportasi publik lainnya sebagai pilihan masyarakat dalam mobilitas setiap harinya.

Untuk mendorong percepatan pengembangan kawasan berbasis TOD di Indonesia, pemerintah pusat perlu bersinergi dengan pemerintah daerah dan juga swasta. Dan untuk ke depannya, selain diimplementasikan di kawasan transit berbasis rel, konsep TOD di Indonesia juga perlu untuk dikembangkan di kawasan sekitar simpul transit moda lain seperti terminal bus, bandara, maupun pelabuhan. Sehingga tujuan TOD sebagai pengungkit kualitas hidup masyarakat dapat tercapai.

Sumber:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Direktorat Jenderal Perumahan)
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek
PT MRT Jakara

*) Analis Perekonomian pada Subbidang Perkeretaapian, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Investasi, Sekretariat Kabinet RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button