Pemimpin dalam Persfektif Orang Melayu (Bagian 2)
Oleh: Amrizal
[5]. Pemimpin Harus Banyak Pandainya
Pandai membaca tanda alamat
Pandai mengunut mengikuti jejak
Pandai menyimpan tidak berbau
Pandai mengunci dengan budi
Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah sempurna apabila tidak dilengkapi dengan sifat pandai. Kepandaian dalam hal ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik terhadap masalah-masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan yang cukup, ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus cerdik dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian terpenting dalam usaha penyelesaian masalah. Oleh karena itu, kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan:
“Bagi yang pandai, mana yang kusut akan selesai. Orang yang pandai pantang memandai-mandai”.
Tampak sekali bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa kepandaian, benang kusut tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat dilakukan pastinya akan memakan waktu yang lama.
[6]. Pemimpin Harus Mulia BudinyaBerkuasa tidak memaksa
Berpengetahuan tidak membodohkan
Berpangkat tidak menghambat
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang licik dan sewenang-wenang. Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk untuk melayani atau “menjadi hamba” atas kepentingan masyarakat, bukan orang yang selalu minta dilayani atau hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi pribadi. Oleh karena itu, bagi orang Melayu, sifat sewenang-wenang dalam memerintah pantang untuk dilakukan.
[7]. Pemimpin Harus Banyak RelanyaRela berkorban membela kawan
Rela dipapak membela yang hak
Rela mati membalas budi
Rela melangas karena tugas
Rela berbagi untung rugi
Rela beralah dalam menang
Rela berpenat menegakkan adat
Rela terkebat membela adat
Rela binasa membela bangsa
Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus rela dalam banyak hal demi terpenuhinya kepentingan masyarakatnya. Pepatah di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak. Ia harus rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela berteruk dan bersusah ketika rakyatnya susah, dan berikhtiar membahagiakan rakyatnya saat ia bahagia. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela berpenat dan terkebat dalam membela adatnya. Bagaimanapun seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak.
[8]. Pemimpin Harus Banyak IkhlasnyaIkhlas menolong tak harap sanjung
Ikhlas berbudi tak harap puji
Ikhlas berkorban tak harap imbalan
Ikhlas bekerja tak harap upah
Ikhlas memberi tak harap ganti
Ikhlas mengajar tak harap ganjar
Ikhlas memerintah tak harap sembah
Istilah “rela” memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama:
“Kalau pemimpin tidak ikhlas, banyaklah niat yang akan terkandas”.
Keikhlasan seorang pemimpin dalam bertindak akan sangat mempengaruhi hasil dari proses pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang. Ini bahkan bisa menimbulkan musibah dan bencana bagi rakyat yang sedang dipimpinnya.
[9]. Pemimpin Harus Banyak TahannyaTahan berhujan mau berpanas
Tahan bersusah berpenat lelah
Tahan berlenjin tak kering kain
Tahan berteruk sepepak teluk
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan kesabaran menjadi salah satu sifat dari pemimpin ideal untuk menjamin tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin. Selain itu, sikap tawakkal (berserah diri) juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah, namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut dilakukan setelah melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain, orang Melayu memaknai istilah tawakkal sebagai penyerahan hasil kepada Tuhan dari usaha yang dilakukan manusia.
Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh seorang pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki kelompok oposisi yang cukup kuat. Kritik tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon dengan sikap arogan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan untuk menerima semua itu dan memikirkannya secara mendalam. Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan mencari seribu dalih untuk mengelak dari kritik tersebut. Bahkan, terkadang kritik-kritik tersebut ditanggapi dengan penuh amarah. Lebih buruk lagi apabila kritik itu justru dianggap sebagai fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia akan menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat dan bahan intropeksi diri.
Penulis adalah Ketua MUI Kabupaten Bengkalis, Riau