Berita TerbaruPendapatPendidikan

OPINI: GOTONG ROYONG EKONOMI

Prama Widayat  )**

LANGKAH pemerintah mengatasi bencana nasional akibat covid-19 perlu kita berikan apresiasi walaupun masih belum terlihat keseriusan yang nyata, di mana ketika warga negara Indonesia diperintahkan untuk stay at home namun saat yang bersamaan tenaga kerja asing dari RRC juga masuk ke Indonesia sehingga ini terlihat sebagai lelucon.

Hari demi hari terus berlalu ketika wabah covid-19 semakin tidak terkendali dan korban terus bertambah, hampir semua provinsi sudah terjangkit penyakit ini. Adanya imbauan untuk “tetap di rumah aja” hanya sebagian kecil saja yang menjalaninya. Bukan karena mereka tidak mau ikut tetapi ini masalah perut. Sebagian besar masyarakat memiliki pendapatan harian dan jika mereka menerapkan “stay at home” maka mereka juga bisa mati kelaparan. Ini juga perlu diperhatikan oleh mereka yang katanya perwakilan rakyat yang ada di legislatif dan juga pengambil kebijakan.

Jangan salahkan rakyat kecil ketika mereka tidak taat pada aturan dan imbauan untuk tetap berada di rumah, tetapi sudahkah negara hadir dalam mendalami apa keluh kesah mereka karena kalau sekadar teriak-teriak dan mengimbau maka semuanya juga sudah mendengarkan dari kalangan borjuis hingga proletar. Katakanlah ketika mereka diberikan bantuan sembako berupa beras, minyak goreng dan mie instan maka ini tidak salah, tetapi sampai bertahan berapa lama bantuan ini dan prediksi covid-19 ini kapan akan berakhir, makanya kebijakan yang dibuat juga harus dengan ilmu dan tidak bisa asal. Jika setiap hari masyarakat makan mie instan maka yang ada penyakit yang didapat karena setiap hari makan mie instan.

Mereka yang diberikan bantuan ini termasuk ojol, loper koran, tukang semir sepatu, petugas parkir harian, pedagang kecil yang berdagang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari saja, supir taksi, supir travel yang pendapatannya tergantung dengan jumlah penumpang karena dengan wabah ini maka penumpang sepi dan bahkan tidak ada sama sekali, buruh pelabuhan, buruh pasar, penjual gorengan, tukang bakso keliling, tukang sate keliling dan lainnya yang mereka bertahan hidup dengan penghasilan harian.

Bagi kaum borjuis mereka bisa bertahan dari tabungan yang mereka miliki bahkan memborong stok makanan untuk 1 bulan dan bahkan bisa untuk 1 tahun ke depan, hal ini tentu tidak akan bisa dilakukan oleh pekerja harian.

Kebutuhan sembako

Kita berikan apresiasi kepada pemerintah yang memberikan bantuan sembako kepada masyarakat yang tidak mampu tetapi itu kurang tepat, sebaiknya sembako diberikan dalam bentuk uang tunai karena pengadaan sembako juga rentan dijadikan proyek oleh oknum tertentu. Sembako terdiri dari beras, minyak goreng dan mie instan, di mana kebutuhan beras masing-masing orang itu berbeda dan jika tidak sesuai dengan kebutuhan maka akan menjadi sia-sia juga. Kemudian kebutuhan lauknya dari mana mereka penuhi dan tidak mungkin mereka hanya makan mie instan selama 14 hari ataupun 30 hari.

Sebaiknya pemerintah setiap kabupaten atau kota menghitung kebutuhan dasar yang layak selama 30 hari bagi sebuah keluarga, kebutuhan hidup setiap daerah itu berbeda dan tidak bisa dipukul rata. Ambil contoh sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan 2 anak dengan kebutuhan makan minum perhari Rp30.000 dan selama 30 hari menjadi Rp900.000. Bukan bermaksud untuk membuat masyarakat manja tetapi karena mereka diimbau untuk tetap di rumah dan tidak mendapatkan pemasukan selama waktu diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) 

Dengan uang tunai mereka bisa membeli kebutuhan beras sesuai makan sehari-hari dan membeli lauk-pauk untuk makan harian, ini jauh lebih memberikan nilai manfaat bagi masyarakat. Perlu diingat juga bahwa penyaluran uang tunai juga perlu diawasi dan sangsi berat menanti bagi siapa yang terbukti korupsi dana tersebut seperti hukuman mati.

Bantuan sewa rumah dan keringanan cicilan

Selain dari bantuan sembako, juga perlu diperhatikan biaya sewa rumah karena dengan tidak bekerja maka otomatis mereka tidak punya pendapatan untuk membayar sewa rumah. Kalau dilihat rata-rata sewa rumah untuk menengah kebawah bagi mereka yang betul-betul tidak mampu berada pada Rp500.000 per bulan.

Kemudian keringanan cicilan ataupun hutang di perbankan. Bersyukur kita mendapatkan kabar baik beberapa waktu lalu bahwa pemerintah memberikan kebijakan keringanan untuk mereka yang punya hutang di perbankan, tetapi teknisnya kita belum melihat. Jangan sampai kebijakan dari atas tidak sinkron dengan aplikasi di lapangan, belum lagi persyaratan yang rumit dan prosedur yang berbeli-belit. Termasuk juga memperhatikan masyarakat yang punya hutang dengan lintah darat karena hutang ini jauh lebih berbahaya karena bunganya cukup tinggi.

Potong gaji legislatif dan pejabat eksekutif

Memang terkesan sedikit mustahil untuk memberikan uang tunai untuk kebutuhan pokok masyarakat, bentuan tunai untuk uang sewa rumah dan keringanan cicilan hutang perbankan karena negara sedang tidak punya duit. Tetapi kita belum melihat sikap kesatria para legislatif kita dari pusat hingga daerah untuk menyumbangkan penuh gaji mereka untuk membantu masyarakat yang kehilangan pendapatan akibat tidak bekerja.

Walaupun sudah ada yang bagi-bagi hand sanitizer, bagi-bagi masker dan juga lainnya maka ini perlu kita support juga tetapi belum ada deklarasi dari para legislator kita untuk berkata “gaji kami selama 3 bulan” full diberikan untuk masyarakat kurang mampu selama diberlakukannya PSBB. Nah kalau ini serentak seluruh Indonesia maka saya yakin hati rakyat akan kembali dapat diobati dengan kekecewaan yang pernah mereka dapatkan akibat janji manis ketika kampanye.

Kemudian para Menteri, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dan Staf  Khusus Milenial yang konon gaji mereka puluhan juta per orang setiap bulan serta pejabat tinggi negara lainnya bisa menyumbangkan gaji mereka full selama 3 bulan untuk disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan ini, maka ini seperti sebuah keajaiban yang menjadi nyata di mana jiwa gotong royong itu masih ada.

Biaya pendidikan

Walaupun sudah bertebaran jumlah beasiswa yang diberikan dalam dunia pendidikan maka perlu penambahan untuk siswa ataupun mahasiswa yang berasal dari keluarga yang terkena dampak, karena kepala keluarga tidak punya penghasilan maka sudah selayaknya bantuan pendidikan diberikan. Jangan sampai cita-cita anak bangsa terhenti hanya karena negara abai ataupun terlambat hadir dalam memberikan solusi.

Di sinilah letak sinergitas Kementerian Pendidikan dengan pemerintah provinsi hingga kabupaten untuk memiliki data keluarga mana saja yang terkena dampak ekonomi akibat kebijakan PSBB yang diberlakukan oleh negara. Tidak ada satupun keluarga yang minta dikasihani karena mereka juga ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya tetapi keadaan yang memaksa mereka untuk bertahan di rumah.

Pendataan

Sebelum bantuan diberikan maka pendataan bisa dilakukan mulai dari tingkat RT, siapa saja yang betul-betul layak untuk mendapatkan bantuan ini, jangan hanya karena dekat dengan ketua RT maka semua bisa diatur. Mahasiswa bisa dilibatkan dalam pengawasan pendataan dan penyaluran ini karena mereka sekarang kuliah online dan kembali ke rumah masing-masing, maka gunakan waktu ini untuk mengawasi. Jika data dari tingkat RT valid maka penyaluran lebih tepat sasaran.

Kita mendukung setiap kebijakan pemerintah terutama diberlakukannya PSBB ini tetapi pemerintah luput untuk memenuhui kebutuhan pokok masyarakat yang terkena dampak atas kebijakan ini dan juga harus punya estimasi waktu dalam masa darurat ini, misalnya estimasi 3 bulan masa darurat dari April hingga Juni sehingga dapat menghitung bantuan untuk 3 bulan.

Ingat negara bertanggung jawab terhadap warganya sebagaimana yang termaktup dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”

Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa bagi warga yang mampu ditingkat RT bisa memberikan bantuan kepada warga yang kurang mampu, jika satu RT mampu semua maka bisa membantu dalam lingkup RW yang sama, inilah sejatinya nilai gotong royong dalam masyarakat, seperti kata pepatah “berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing”. Walaupun warga sukarela membantu, negara juga tidak bisa lepas tangan karena tetap peran terbesar ada pada negara, karena negara hadir untuk mengayomi masyarakat, jangan sampai mereka mati didalam rumah.

)** Aktivis Alumni HMI dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button