Berita TerbaruBerita UtamaPendapatPendidikan

Ada Pelangi di Balik Hujan Badai: “Sebuah Refleksi Hikmah Pandemic Corona di Pendidikan Tinggi”

Oleh: Dadang Syarif Sihabudin Sahid

SELALU ada hikmah di balik kesulitan yang kita hadapi. Kita harus selalu percaya tentang itu. Dan itu pula yang akan menjadi “anchor” dalam menjaga pikiran, hati, dan energi untuk selalu berada pada kutub positif. Pandemic corona yang sedang melanda kita saat ini telah “memaksa” secara masif dan mengubah cara kita dalam beraktivitas. Disrupsi teknologi yang telah merubah berbagai macam proses bisnis mungkin sudah dipahami dan disadari sejak awal, tetapi “perubahan drastis” sampai menyentuh hal-hal yang sifatnya “sakral” adalah baru kali ini dan sangat “menyesakkan”. Kegiatan di tempat beribadah yang ditarik ke rumah mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi hari ini kejadian. Sebagian besar orang mungkin akan menahan untuk tidak mudik lebaran tahun ini, padahal ini adalah kegiatan “sangat penting” dan sudah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Namun demikian, jika kita melihatnya dengan jernih, selalu ada pelangi dibalik hujan badai. Tuhan sudah mengatur semuanya. Langit tidak selalu biru, cahaya matahari dan mendung muncul bergantian, begitupun antara kebahagiaan dan kesedihan. Tetapi yang harus diyakini adalah selalu ada kemudahan dan hikmah dibalik setiap cobaan. Saat ini mungkin kita sedang diuji pada salah satu jenis kesabaran seperti yang pernah disampaikan oleh sahabat nabi Ali Bin Abi Thalib R.A. Kesabaran itu ada dua jenis, sabar menghadapi sesuatu yang kita inginkan dan sabar menghadapi sesuatu yang tidak kita inginkan.

Sejalan dengan hal diatas, bagi kita di institusi pendidikan tinggi, kejadian pandemic corona ini telah memberikan hikmah dan spirit yang luar biasa. Dari sekian banyak hikmah, paling tidak ada tiga spirit yang bisa kita dapatkan.

1. Spirit Eksplorasi dalam Pembelajaran Daring

Euphoria pembelajaran daring mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi di awal-awal telah menjadi pengalaman baru yang mengasyikkan” bagi sebagian orang terutama para pendidik. Sebagian dari kita bahkan melampiaskannya dengan “pamer” di sosial media tentang proses pembelajaran dengan berbagai macam teknologi dan media e-learning yang digunakan. Tetapi, memasuki minggu ketiga dan keempat, “masalah” mulai bermunculan, setidaknya dari survey-survey yang dilakukan terhadap para peserta didik dan mahasiswa. Beberapa persepsi dan perasaan mulai muncul: bosan, tidak efektif, lebih berat, pelajaran sulit dipahami, mahal (kuota internet boros), jaringan lelet, dan lain-lain. Kalau pendekatan Technology AcceptanceModel yang disampaikan Fred Davis diterapkan dalam situasi ini, kemungkinan besar nilai variabel “Perceived usefulness”, “Attitude towards using e-learning” dan “Intention to use e-learning” hasilnya “tidak sesuai harapan”.

Dari sini kita bisa bermuhasabah diri ternyata pembelajaran daring ini tidak melulu hanya masalah teknologi. Sebagai seorang pendidik kita dipaksa untuk “tidak egois”, perlu memperhatikan juga dari sisi siswa pembelajarnya. Aspek-aspek yang berkaitan dengan sisi teknis seperti penyediaan infrastrukur jaringan serta kuota internet yang murah mungkin memerlukan peran dan tugas pemerintah. Tetapi, aspek-aspek untuk menciptakan “interesting” dan “engagement” siswa terhadap pembelajaran daring mungkin menjadi tugas dan tantangan kita sebagai pendidik. Berita baiknya, sebagian pendidik sudah mulai menyadarinya. “Masa adaptasi” pembelajaran daring selama 3-4 minggu ini telah membuat kita lebih “bijak” dan paham akan pentingnya pengalaman psikologis siswa dalam pembelajaran daring. Indikasinya, munculnya spirit untuk terus berkreasi, memperbaiki, dan mengeksplorasi strategi dan teknologi yang pas dengan kondisi siswa dalam pembelajaran daring.

Semangat untuk membuat konten-konten menarik, timbulnya “curiosity” untuk mencari dan memilih aplikasi soal-soal quiz yang interaktif menjadi fenomena yang menggembirakan. Dari sisi teknologi, mendapatkan sistem yang adaptif terhadap kondisi psikologis pembelajaran siswa ini belum banyak, tetapi hal ini bisa menjadi peluang baru bagi pengembangan aplikasi e-learning di masa yang akan datang.

2. Spirit Berinovasi dan Berkreasi

Pandemic corona ini telah memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Kita seolah diuji tentang kesiapan dalam menghadapi dan akibat yang ditimbulkannya. Faktanya, secara umum kita belum siap. Tidak hanya masalah kesiapan infrastruktur dan peralatan kesehatan yang tidak cukup. Tetapi dari sisi edukasi ke masyarakat dan sistem pengambilan keputusan yang cepat dan tepat juga menunjukkan ketidaksiapan. Sehingga sangat wajar kalau muncul

masalah disana sini. Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan, laboratorium pengujian yang terbatas, kesadaran masyarakat yang masih rendah, data yang tidak sinkron seolah menjadi informasi dan bahan perdebatan sehari-hari.

Tetapi, selalu ada hikmah di baliknya. Bagi sebagian pihak, hal ini merupakan peluang untuk berinovasi dan berkreasi. Timbulnya kesadaran dan spirit untuk membuat karya inovasi dalam bentuk produk, aplikasi dan layanan edukasi ke masyarakat menjadi hal yang sangat menggembirakan. Semangat untuk berkarya dengan implementasi solusi yang cepat terhadap berbagai permasalahan pandemic ini layak untuk disyukuri dan diapresiasi. Masalah nyata di depan mata telah memicu dan memacu peran kita khususnya di pendidikan tinggi untuk mengimplementasikan tri dharmanya. Ini pengalaman yang sangat berharga dan langka. Hikmahnya, jarang-jarang karya inovasi kita dibuat cepat, diuji, dan diimplementasikan langsung. Sebuah pelajaran baik yang menegaskan kembali tentang pentingnya “keseriusan” dalam menuliskan latar belakang dan rumusan masalah dari suatu penelitian. Dalam kondisi normal, “masalah nyata” ini pun cukup banyak. Tapi, dengan alasan “effort” yang tinggi, kadang sebagian dari kita suka “menciptakan dan merumuskan masalah yang dibuat sendiri atau dibuat-buat”.

3. Spirit Berbagi

Banyak teman-teman, mahasiswa, tetangga, dan kolega yang dalam kesehariannya memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Pada masa pandemic ini, spirit berbagi begitu menggema dan memberikan inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan kebaikan yang sama. Ada orang dengan kelebihan harta tetapi tidak punya waktu untuk bergerak, maka dia mendonasikan sebagian hartanya melalui orang lain. Ada juga yang tidak punya harta, tetapi punya tenaga, pikiran, dan waktu untuk menjadi relawan. Ada suami istri penjahit yang menutup sementara orderannya hanya untuk membuat masker yang memang langka. Beberapa orang pegawai rela mengajukan cuti ke perusahaan hanya untuk membuat produk APD. Sebagian staf memilih tidak work from home biar bisa mengerjakan sesuatu dan berbagi untuk lingkungannya. Ada yang dibalik layar terus mengembangkan aplikasi dan menjaga server supaya terus memberikan layanan kepada masyarakat. Banyak pihak yang terus menyuarakan kebaikan dan menginspirasi pihak lain untuk terus berbuat kebaikan daripada sibuk berpolemik dan berdebat.

Kita sadar bahwa pandemic ini masalah bersama, kita selesaikan bersama sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Kalaupun tidak bisa berbuat langsung, disiplinlah mengikuti protokol pandemic corona serta senantiasa berperilaku pola hidup sehat dan bersih. Senantiasa memanjatkan doa dan memberikan semangat kepada para relawan dan petugas di garda depan adalah kontribusi yang luar biasa. Untuk saat ini, berpolemik karena tidak siap menghadapi kenyataan wabah ini adalah bukan pilihan yang bijak. Lebih baik menyalakan lilin daripada menggerutu pada kegelapan.

Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan kepada kita semua.**

Dr. Dadang Syarif Sihabudin Sahid, S.Si., M.Sc. adalah Direktur Politeknik Caltex Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button