Defisit yang Merambat: Pusat Lumpuh, Daerah Tersungkur

Penulis: Azmi bin Rozali
KETIKA kita menyimak pidato-pidato pembangunan sepuluh tahun terakhir, selalu terdengar optimisme dan retorika kemajuan: jalan tol dibangun, pelabuhan diperluas, bandara direnovasi. Tapi hari ini, kenyataan ekonomi yang kita hadapi jauh dari narasi tersebut. Indonesia terperosok dalam defisit anggaran yang tidak hanya membebani pusat, tetapi juga menyeret seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota ke dalam jurang fiskal yang dalam.
APBN 2025 mencatat defisit sebesar 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah pusat menarik utang baru sebesar Rp153,36 triliun pada Januari 2025, dan total utang nasional kini telah menembus Rp8.909 triliun.
Belanja negara tetap membengkak, sementara penerimaan pajak justru anjlok 30,19% dibanding tahun sebelumnya. Ini bukan sekadar angka, ini adalah cermin bahwa mesin fiskal kita sedang kehabisan bahan bakar.
Dampaknya? Banyak pemerintah daerah yang mendadak membatalkan program strategis, menunda pembayaran proyek, bahkan tidak sanggup menggaji pegawai tepat waktu.
Dana transfer pusat tersendat, belanja sosial tersendak, dan pembangunan daerah tertatih. Ketika para kepala daerah menyuarakan kegelisahan mereka, pemerintah pusat pun hanya bisa terdiam, sebab mereka pun tengah dililit oleh krisis serupa. Maka lahirlah ketimpangan fiskal horisontal dan vertikal yang semakin nyata.
Apa yang salah? Banyak hal. Namun benang merah dari semuanya adalah kegagalan merancang pembangunan secara filosofis, terencana, dan berorientasi jangka panjang.
Pembangunan infrastruktur selama satu dekade terakhir dilakukan dengan semangat tinggi, tetapi kurang perhitungan matang tentang dampak fiskal jangka panjang. Seolah-olah semua bisa dikejar dengan utang, tanpa menghitung beban bunga, risiko ekonomi global, atau kemampuan fiskal negara untuk menopang operasionalisasi infrastruktur yang telah dibangun.
Pembangunan bukan hanya soal membangun fisik. Pembangunan adalah upaya menyejahterakan manusia. Ketika jalan tol dibangun tetapi harga pangan melonjak karena daya beli menurun, ketika bandara diperluas tetapi subsidi pendidikan dan kesehatan menyusut karena anggaran terserap ke cicilan utang, maka arah pembangunan patut dipertanyakan.
Tak hanya itu, problem fiskal kita juga diperparah oleh kebocoran penerimaan negara. Data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga awal 2025 baru mencapai 8,6% dari target tahunan.
Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya reformasi perpajakan dan korupsi di tubuh otoritas fiskal. Ketika pajak tidak optimal dikumpulkan dan justru dijarah oleh oknum, maka negara kehilangan amunisi utama untuk membiayai dirinya sendiri.
Sebagaimana dikatakan ekonom Achmad Nur Hidayat, “Penurunan penerimaan pajak ini menjadi alarm keras bagi stabilitas fiskal Indonesia.”
Kondisi ini menuntut perubahan paradigma besar. Pertama, kita harus berani mengevaluasi total arah pembangunan nasional. Harus ada keseimbangan antara ambisi dan kapasitas.
Negara harus mengedepankan kualitas, bukan kuantitas pembangunan. Proyek-proyek infrastruktur ke depan harus diuji secara ketat: apakah betul-betul memberikan dampak ekonomi riil bagi rakyat? Apakah mampu meningkatkan produktivitas nasional, atau sekadar menjadi mercusuar kebanggaan?
Kedua, reformasi perpajakan dan penguatan sistem antikorupsi harus dilakukan tanpa kompromi. Pendapatan negara dari pajak adalah darah dari tubuh republik.
Ketika darah ini terus bocor oleh jarahan para predator birokrasi, maka tubuh negara tidak akan pernah sehat. Pemerintah harus menunjukkan ketegasan dalam membongkar sindikat korupsi perpajakan dan memperbaiki sistemnya hingga ke akar.
Ketiga, pusat harus membuka ruang dialog fiskal yang adil dengan daerah. Sudah saatnya kita membangun sistem hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih simetris, transparan, dan fleksibel.
Pemerintah daerah tidak boleh terus menjadi korban atas kekacauan fiskal pusat. Desentralisasi fiskal bukan hanya soal membagi dana, tetapi juga memberi kewenangan dan tanggung jawab untuk merancang jalan keluar sendiri.
Krisis fiskal hari ini adalah cermin dari pembangunan yang gagal memanusiakan manusia. Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur.”
Namun jembatan itu kini terancam ambruk, bukan karena kurang panjang, tetapi karena terlalu berat menanggung beban utang, defisit, dan kegagalan tata kelola.
Kita tidak anti-pembangunan. Kita hanya rindu pada pembangunan yang bijak, adil, dan menyentuh hati rakyat kecil. Kita rindu negara yang hadir bukan dengan janji, tetapi dengan keberpihakan sejati.
Maka mari kita jadikan defisit ini sebagai titik balik. Titik untuk menata ulang, bukan sekadar menambal. Titik untuk memanusiakan kembali pembangunan. ***
Penulis adalah coach dan trainer nasional pernah tiga periode menjabat anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2004-2019.


