
Oleh: Azmi bin Rozali
DI TENGAH arus penyeragaman narasi kepahlawanan yang terlalu lama terkungkung pada glorifikasi perlawanan bersenjata, muncul kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi ulang peta sejarah nasional.
Kepahlawanan tidak hanya dimaknai dalam senjata dan darah, tetapi juga dalam ilmu, spiritualitas, dan keteladanan yang membangun peradaban. Dalam konteks ini, sosok Syeikh Abdul Wahab Rokan—ulama besar dari Rokan Hulu, Provinsi Riau—menjadi figur penting yang patut diberi tempat dalam panggung nasional, dan kini sedang diperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR).
Lahir pada tahun 1811 di Kampung Danau Runda, Syeikh Abdul Wahab Rokan tumbuh dalam lingkungan keislaman yang kuat. Pada usia muda ia menuntut ilmu di Makkah dan Madinah selama belasan tahun. Di sana ia berguru kepada ulama besar dunia Islam dan memperoleh ijazah sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Sekembalinya ke tanah air, ia menyebarkan ilmu dan membangun pusat-pusat spiritual Islam di wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu. Salah satu pusat penting yang ia dirikan adalah Surau Babussalam di Langkat, Sumatra Timur—kini bagian dari Sumatra Utara.
Lebih dari sekadar pendakwah, Syeikh Abdul Wahab adalah arsitek gerakan kultural dan spiritual yang memperkuat sendi-sendi peradaban Melayu-Islam di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda.
Ia membentuk jaringan ulama dan murid-muridnya di berbagai wilayah: dari Riau, Aceh, Minangkabau, hingga Johor dan Patani. Menurut sejarawan Taufik Abdullah (1987), perkembangan tarekat semasa kolonial bukanlah gerakan pasif, melainkan bentuk resistensi terhadap penetrasi kekuasaan kolonial yang hendak melumpuhkan otonomi keagamaan masyarakat pribumi.
Syeikh Abdul Wahab melawan kolonialisme dengan jalan lain: membebaskan umat dari kebodohan, ketakutan, dan ketundukan kepada kekuasaan zalim. Ia membangun “pertahanan batin”, menanamkan rasa harga diri kolektif umat, dan menjadikan spiritualitas sebagai jalan merdeka.
Dalam tradisi Islam, ini disebut jihad akbar—perjuangan melawan hawa nafsu dan ketertindasan batin. Prof. Dr. Nazir Karim, cendekiawan dan ulama Riau menyebut Syeikh Abdul Wahab sebagai “guru bangsa yang mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah perihal jiwa yang merdeka lebih dulu sebelum politik bisa bicara.”
Penting dicatat, Surau Babussalam bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan dan pengkaderan ulama. Pemerintah Hindia Belanda mencatat dengan cemas aktivitas surau ini dalam berbagai laporan kolonial, karena menyatukan kekuatan spiritual dan kultural lintas batas administratif kolonial.
Dalam satu arsip Belanda yang dikaji oleh sejarawan Malaysia, Dr. Ahmad Jelani Halimi, disebutkan bahwa tarekat ini memiliki “influence yang dapat mengancam struktur sosial yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Timur.”
LAMR, yang kini memotori pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Syeikh Abdul Wahab, telah mengumpulkan lebih dari 5.000 lembar dokumen, testimoni, dan arsip yang membuktikan peran strategis sang ulama dalam membentuk peradaban Melayu.
Ketua Umum DPH LAM Riau, Datuk Seri H. Taufik ikram Jamil dalam pidato adatnya pada sebuah pertemuan di gedung lembaga adat itu menyatakan, “Jika kita menunda pengakuan terhadap tokoh semacam Syeikh Abdul Wahab, maka bangsa ini sedang kehilangan orientasi sejarah dan spiritualitasnya.”
Upaya ini didukung oleh Gubernur Riau, saat masih dijabat oleh H. Edy Natar Nasution, yang telah menginstruksikan penyusunan dokumen akademik dan historis melalui Dinas Sosial dan tim ahli sejarah daerah.
Pemerintah Provinsi Riau telah resmi mengusulkan nama Syeikh Abdul Wahab ke Kementerian Sosial RI untuk diteliti oleh Dewan Gelar Pahlawan Nasional. Dalam kunjungannya ke pesantren peninggalan Syeikh Abdul Wahab di Langkat pada Februari 2025, Gubernur menegaskan, “Ini bukan sekadar urusan gelar, ini urusan marwah dan keadilan sejarah.”
Apa yang bisa kita pelajari dari perjuangan Syeikh Abdul Wahab Rokan adalah pentingnya memperluas tafsir kepahlawanan dalam sejarah nasional. Kepahlawanan tidaklah tunggal; ia majemuk dan harus dibaca sesuai konteks lokal.
Dalam konteks Melayu, pahlawan tidak selalu tampil dengan senjata, tetapi dengan ilmu, akhlak, dan daya spiritual yang melampaui zaman. Seperti kata pepatah Melayu: “Yang berani karena benar, yang kuat karena iman.”
Negara ini terlalu sering menunda pengakuan terhadap tokoh-tokoh besar dari luar Jawa. Kita lupa bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil mozaik perjuangan dari berbagai elemen: militer, intelektual, ulama, perempuan, dan rakyat biasa. Dengan tidak memberi tempat yang layak bagi tokoh seperti Syeikh Abdul Wahab Rokan, kita sedang menyusun sejarah dengan separuh tinta.
Dari perspektif sejarah kebangsaan, mengangkat Syeikh Abdul Wahab Rokan sebagai Pahlawan Nasional adalah bentuk keadilan naratif. Ini juga menjadi inspirasi penting bagi generasi muda Melayu dan umat Islam Nusantara untuk tidak tercerabut dari akar sejarahnya. Kepahlawanan tidak hanya dikenang, tetapi diwarisi dan diteruskan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan anak-anaknya, bukan hanya yang berperang di medan laga, tetapi juga yang bertarung di medan ruhani. Syeikh Abdul Wahab Rokan adalah warisan yang menunggu untuk diakui secara nasional. Dan kini, sejarah menuntut kita untuk berlaku adil.
Sudah saatnya kita menjawab tuntutan zaman dengan pengakuan yang bermartabat. Syeikh Abdul Wahab Rokan bukan hanya milik Riau, ia milik bangsa. Ia adalah cermin dari Indonesia yang berakar, beriman, dan berperadaban. ***
Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah tiga periode menjabat anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2004-2019.


