Berita TerbaruPekanbaruPendapat

Pekanbaru Darurat Sampah

Penulis: Prama Widayat

TAHUN DEMI tahun permasalahan Kota Pekanbaru dalam pengelolaan sampah tidak kunjung selesai padahal anggaran yang tersedia bisa dikatakan lebih dari cukup. Panduan dalam pengelolaan sampah sudah sangat jelas dimulai dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, di mana semua diatur garis-garis pengelolaan sampah yang harus dilakukan. Pada Pasal 19 tertulis bahwa pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengurangan sampah dan penanganan sampah.

Pengurangan sampah (pasal 20) dilakukan dengan tiga acara, yaitu, pertama, pembatasan timbulan sampah, dengan cara mengurangi penggunaan plastik dan barang-barang sekali pakai karena sebaiknya menggunakan wadah atau tempat yang bisa dipakai berkali-kali seperti membawa botol minum sendiri, tempat makan yang bisa dipakai berulang, berbelanja menggunakan tas kain. Kedua, pendauran ulang dengan cara mengolah kembali sampah yang bisa dijadikan bahan baku seperti membentuk bank sampah yang bisa melakukan proses daur ulang dan membuat produk kerajinan dari sampah seperti paving blok, furniture, aneka tas dan dompet, sampah plastik diubah menjadi minyak sejenis petasol. Dan ketiga, pemanfaatan kembali dapat dilakukan dengan cara menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu yang lama seperti sapu tangan sebagai pengganti tisu, barang-barang yang terpilah di bank sampah dapat diproses daur ulang menjadi berbagai jenis produk.

Penanganan sampah (pasal 22) dilakukan dengan lima cara, yaitu, pertama, pemilahan sampah, dengan memilah sampah organik, non-organik dan residu. Kedua, pengumpulan sampah, dilakukan terhadap sampah yang sudah dipilah, mana yang bernilai ekonomi dan mana yang tidak bernilai. Ketiga pengangkutan sampah, dilakukan dengan mengangkut sampah residu dan sampah yang tidak bernilai ekonomi ke TPA. Keempat, pengolahan sampah dilakukan untuk sampah organik yang bisa dijadikan kompos dan juga budidaya maggot. Kelima, pemprosesan akhir sampah, untuk sampah residu yang dibawa ke TPA (Tempat Pemprosesan Akhir) sehingga sampah tersebut dikembalikan ke alam dengan kondisi ramah lingkungan, bukan dengan cara saat ini ditumpuk menjadi gunung sampah karena persepsinya TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Salah pemahaman tentang TPA sehingga salah dalam penerapan di lapangan.

Surat Edaran Menteri LHK Nomor 5 Tahun 2019 tentang gerakan memilah sampah dari rumah, edaran ini sangat tepat karena mengajak masyarakat memilah sampah sejak dari rumah. Kita ketahui berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024 bahwa sumber sampah terbesar berasal dari rumah tangga sebanyak 54,31%, disusul berikutnya pasar 13,52%, kawasan 11,74%, perkantoran 7,84%, perniagaan 7,46%, fasilitas publik 3,81% dan lainnya 1,32%. Seharusnya pengelolaan sampah mengacu pada sumber sampah, tidak bisa dilakukan pemerataan karena setiap sumber sampah punya karakteristik tersendiri. Jika semua dilakukan dengan cara yang sama maka akan terjadi penumpukan sampah karena tidak terkelola sejak dari sumbernya.

Permen LHK Nomor 75/2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen, di sini telah diatur kewajiban produsen terhadap lingkungan. Pasal 7 mewajibkan produsen untuk melakukan pendauran ulang dan pemanfaatan kembali sampah dengan penarikan kembali sampah dari produk, kemasan produk, dan/atau wadah untuk didaur ulang dan/atau dimanfaatkan kembali. Pemerintah Kota Pekanbaru tidak pernah menjalankan ini, padahal kita ketahui produsen tersebut memiliki perwakilan di Kota Pekanbaru, sudah sewajarnya produsen tersebut dilibatkan untuk menarik kembali sampah kemasan dari produk mereka.

Komitmen
Secara regulasi sudah sangat jelas mengatur semua tentang pengelolaan sampah tetapi komitmen Pemerintah Kota Pekanbaru yang tidak ada. Bukan masalah bisa atau tidak bisa, tetapi mau atau tidak mau menjalankan amanat undang-undang. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan prilaku masyarakat yang tidak tertib dalam membuang sampah, hal ini terjadi karena pemerintah hanya fokus pada pengangkutan sampah.

Nilai anggaran untuk pengangkutan sampah memang menggiurkan sampai puluhan milyar setiap tahun. Pengangkutan sampah dengan pihak ketiga dan menghabiskan anggaran Rp42,9 Milyar (2021), Rp55,6 Milyar (2022), Rp57,9 milyar (2023), Rp54,7 milyar (2024) dan Rp33 Milyar (2025) untuk masa pengangkutan 6 (enam) bulan.

Jika pemerintah tidak mampu sendiri maka bisa mengajak berkolaborasi berbagai pihak, cukup memberikan surat rekomendasi mendukung penerapan UU Nomor 18 Tahun 2008, SE Menteri LHK Nomor 5 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 75 tahun 2019 kepada pegiat lingkungan, bank sampah dan komunitas lainnya. Tetapi komitmen ini yang tidak terlihat, peraturan Menteri LHK Nomor 75 tahun 2019 menyebutkan bahwa pasal 7 tersebut produsen dapat bekerjasama dengan bank sampah, tempat pengolahan sampah dan pusat daur ulang. Di Kota Pekanbaru terdapat beberapa bank sampah dan pusat daur ulang, seharusnya ini yang bisa di berdayakan.

Pemerintah juga bisa membentuk bank sampah unit setiap RW di setiap kelurahan. Saat ini terdapat 83 kelurahan di Kota Pekanbaru dan biaya untuk membentuk bank sampah tidaklah mahal. Untuk mendirikan 1 bank sampah unit butuh biaya Rp5.000.000 terdiri dari 1 timbangan duduk kapasitas 60 kg, butuh 600 karung, 500 buku tabungan, alat tulis dan seragam untuk 5 orang pengurus bank sampah unit. Terdapat 768 RW di Kota Pekanbaru maka butuh biaya Rp 3.840.000.000. Selain itu juga bisa dibentuk 1 TPS3R per kelurahan untuk pengelolaan sampah menjadi kompos, budidaya maggot dan insenerator mini. Biaya maksimal untuk membut 1 unit TPS3R sebesar Rp600.000.000, jika Kota Pekanbaru memiliki 83 kelurahan maka total anggaran yang dibutuhkan Rp49,8 milyar. Selama 5 tahun jika pemerintah Kota Pekanbaru berkomitmen maka hal ini tuntas dilaksanakan, tetapi jika ada banyak kepentingan didalamnya maka tidak akan berhasil.

Konsisten
Memang ada yang dilakukan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dalam melakukan pengelolaan sampah seperti pengangkutan sampah, tidak lebih dari itu karena memang ini konsisten dilakukan setiap tahun. Mengenai dukungan lainnya untuk akses bantuan CSR maupun TJSL dan EPR untuk para pegiat lingkungan dan bank sampah nyaris tidak ada. Baru-baru ini berjalan TPS3R yang berlokasi tidak jauh dari Pasar Kodim, yang mampu mengelola sampah 200-300 kg per hari. Jangan sampai TPS3R ini nasibnya sama dengan beberapa TP3R lainnya yang berhenti beroperasi karena tidak konsisten didukung oleh pemerintah Kota Pekanbaru.

Kondisi darurat sampah hari ini merupakan hasil yang diperoleh dari apa yang ditanam beberapa tahun sebelumnya, jika anggaran yang ada tersebut digunakan bertahap untuk membentu bank sampah unit dan membangun TPS3R maka tidak akan muncul kondisi darurat sampah. pepatah mengatakan “kuda tidak akan pernah jatuh pada lubang yang sama” tetapi Pemerintah Kota Pekanbaru malahan hobby masuk lubang yang sama. Program-program seremonial hendaknya hapuskan saja, fokus pada aksi nyata yang langsung berdampak pada pengelolaan sampah,

Rencana pemerintah Kota Pekanbaru membentuk BLUD itu tidak tepat karena hanya akan menghabiskan APBD, rentan di korupsi dan konflik kepentingan. Berdayakan bank sampah induk yang sudah ada di Kota Pekanbaru yaitu Bank Sampah Dalang Collection, Bank Sampah Unilak, Bank Sampah Tuan Dibangarna dan Bank Sampah Inspirasi Madani. Support mereka dengan membentuk bank sampah unit RW, bentuk TPS3R per kelurahan sekalian membuka lapangan kerja 15-20 orang, jika terdapat 83 TPS3R maka akan menyerap 1660 tenaga kerja. Itu jauh lebih efektif dapat mengurangi sampah ke TPA hingga 90% karena sampah yang dibawah ke TPA hanya 10% saja berupa residu seperti pecahan kaca, botol-botol obat dan baterai bekas. Intinya komitmen dan konsisten dalam pengelolaan sampah tanpa ada kepentingan kelompok maupun oknum tertentu. **

Prama Widayat, Ketua Perbanusa (Perkumpulan Bank Sampah dan Pengelola Sampah Nusantara) Riau; Dosen Prodi Manajemen Universitas Lancang Kuning.

Back to top button