Agroforestri: Memanjakan Gajah, Memajukan Petani
“Latar belakang persoalan gajah adalah kehilangan tempat tinggal, tempat berjuang, tempat makan.”
Cakrawalatoday.com — Hubungan gajah Sumatra liar dengan para petani di Riau hingga hari ini masih jadi perbincangan. Umumnya yang terjadi adalah gajah masuk ke area perkebunan milik warga dan merusaknya. Sebaliknya, gajah juga diburu dengan berbagai alasan.
Peristiwa terdekat terjadi pada awal Juni lalu di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar. Hewan dengan nama ilmiah Elephas Maximus Sumatranus itu masuk ke area perkebunan di wilayah setempat. Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Genman S Hasibuan menyampaikan lokasi konflik berada di dalam dan sekitar Hutan Produksi Konversi (HPK) yang merupakan habitat alami gajah. Hal ini menyebabkan gajah berulang kali mendatangi area kebun sawit warga.
Portal mediaindonesia.com pernah menulis, “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan jumlah gajah sumatra di habitat aslinya Provinsi Riau tersisa hanya 200 hingga 300 ekor. Selama delapan tahun terakhir, ditemukan 28 kasus kematian hewan dilindungi ini atau kematian gajah sebanyak 2 hingga 3 ekor pertahun. Sebagian besar gajah sumatra mati karena dibunuh dengan cara diracun. Oknum warga memburu satwa endemik ini untuk diambil gadingnya. Gajah liar juga dibunuh karena dianggap hama bagi sebagian petani kelapa sawit.” (Perburuan Liar Terus Terjadi, Gajah Sumatra Terancam Punah di Riau; tayang 21 Juli 2023)
Upaya meminimalisir konflik manusia-satwa terus dilakukan, baik oleh instutusi pemerintah seperti BBKSDA, oleh aktivis satwa dan lingkungan hidup, maupun oleh perusahaan-perusahaan. Salah satu upaya itu adalah membuat gajah nyaman sekaligus memakmurkan petani.
Itulah yang dua tahun terakhir dilakukan oleh Rimba Satwa Foundation. Yayasan yang konsen pada pelestarian habitat satwa liar (gajah) dari berbagai ancaman ini bekerja sama dengan PT Pertamina Hulu Rokan Wilayah Kerja Rokan (PHR WK Rokan) menggagas proyek bernama agroforestri.
Program agroforestri di jalur jelajah gajah merupakan merupakan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT PHR dan RSF untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat, pemulihan habitat gajah dan pengurangan konflik antara gajah dan manusia. Pelaksanaan program ini diimplementasikan di landskap koridor Balai Raja-Giam Siak Kecil, Provinsi Riau.
Pendiri yayasan yang juga menjabat sebagai Direktur Program, Zulhusni Syukri, menjelaskan bahwa latar belakang persoalan gajah adalah kehilangan tempat tinggal, tempat berjuang, dan tempat makan. Lokasi itu banyak berubah menjadi kawasan permukiman, jalan, atau perkebunan kelapa sawit.
“Gajah menyukai sawit. Nah, setiap masyarakat menanam sawit atau tanaman lain yang disukai gajah memicu konflik antara masusia dengan gajah,” ujarnya, Sabtu, 8 Juni 2024 lalu di Nursery Agroforestri RSF-PT PHR, di Rangau, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Untuk meminimalisir konflik itulah, kata Zulhusni, sekarang ada pola penanaman yang disebut agroforestri. Dengan pola ini, dalam satu hamparan area petani tidak menanam satu jenis tanaman saja melainkan juga menanam tanaman lain yang tidak disukai gajah. Senhingga gajah hanya lewat atau hanya memakan tanaman yang disukainya, sementara tanaman masyarakat tidak dirusak.
Di nursery atau area pembibitan itu Zulhusni memperlihatkan bibit tanaman yang tidak disukai gajah tapi terbilang tanaman produktif dan bernilai jual. Antara lain durian, jengkol, petai, matoa, dan gaharu yang sudah dikembangkan di 5 desa di Kecamatan Mandau dan sekitarnya.
Agroforestri ini memfokuskan ke areal yang menjadi perlintasan gajah. RSF memetakan mana yang daerah konflik tinggi, sedang dan rendah. Dengan demikian langkah yang diambil untuk setiap area tepat dan efektif.
Argoforestri pada intinya adalah pembagian pola ruang, antara manusia dengan gajah. Karena di zona netral, RSF menanam tanaman yang justru disukai gajah. Di koridor gajah itu ditanami rumput odit, bambu, pisang dan jenis tumbuhan lain untuk pakan gajah liar, sehingga gajah tidak kekurangan makanan.
Jadi, dalam program pelestarian gajah ada tiga aspek sasaran. Yaitu gajahnya, manusianya dan habitanya. Ketiga aspek ini saling keterkaitan, supaya tidak terjadi konflik antara gajah dengan manusia.
Untuk gajah, tim selalu melakukan patroli untuk mengawasi dan menjinakkan gajah liar, serta memasang Global Positioning System Collar (GPS Collar) atau Kalung GPS pada gajah. GPS Collar adalah perangkat yang dapat memantau pergerakan gajah dan perilaku dari populasi gajah di habitatnya terkini. Sehingga pergerakan bisa diawasi pergerakan gajah tersebut dari kantor, bahkan dari gawai yang terhubung.
Kepada manusianya, dibuat program agroforestri. Di mana kelompok tani dibina dengan diberikan bantuan bibit tanaman gaharu, durian, kakao, matoa dan bibit lain, Kemudian diberi kambing serta perikanan untuk menambah ekonomi masyarakat.
Mengutip laman Mertani, agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan tanaman hutan dengan tanaman pertanian atau peternakan dalam suatu area yang sama. Tujuan utama dari agroforestri adalah menciptakan keseimbangan ekosistem dengan memadukan keuntungan ekonomi dari pertanian dan kehutanan, sambil meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. (mertani.co.id: agroforestry integrasi pertanian dan kehutanan untuk keseimbangan ekosistem; tayang 18 November 2023)
Lalu, petani dapat apa dari program agroforesti ini? Suparto, Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya di Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis bercerita cukup banyak tentang itu.
Sebagai pemilik lahan dan perkebunan di area yang bersempadan dengan kantong gajah Balairaja, Suparto menjadi saksi hidup transformasi hubungan manusia dengan gajah di kawasan ini. Ia, sebagaimana warga dan petani lainnya, kerap menggunakan meriam jumbo atau petasan untuk mengusir kawanan gajah liar yang mendekati masuk ke area perkebunan maupun permukiman warga. Namun, kemudian ia menyadari itu bukan cara efektif dan justru menyakiti hewan mamalia yang terancam punah tersebut.
“Dulu, tahun 1995 hingga 2020, warga menggunakan cara kuno dan berbahaya tersebut untuk mengusir kawanan gajah liar. Sebab, warga selalu merasa kesal lantaran hewan berbadan bongsor tersebut acapkali memakan tanaman sawit dan karet milik warga. Warga yang kesal, selalu mengusirnya dengan petasan.
“Kami sadar bahwa gajah juga punya hak untuk hidup dan mencari makan. Dulu kami sering konflik dengan gajah, tapi sekarang kami bisa hidup berdampingan,” ujar Suparto di lokasi yang sama.
Suparto dan kelompok tani kini mendapatkan solusi jangka panjang dalam mengatasi persoalan gajah yang dulu mereka anggap hama. Solusi itu bernama program agroforestri. Mereka pun mulai menanam tanaman yang tidak disukai gajah namun memiliki nilai ekonomi tinggi. Mereka diberikan edukasi oleh PHR dan RSF, hingga terbentuklah KTH Alam Pusaka Jaya.
Bersama anggota kelompok tani hutan lainnya juga melakukan rehabilitasi habitat dengan menambah volume tumbuhan yang menjadi pakan gajah. Mereka menggarap budidaya rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Rumput itu dipelihara di sebuah pekarangan kecil di belakang rumah-rumah warga.
Saat ukurannya cukup besar, rumput-rumput itu kemudian ditanam kembali di koridor jalur gajah, tepi sungai, atau batas-batas kebun masyarakat. Tujuannya agar gajah tetap berada di jalurnya dan mendapatkan sumber makanan. Dengan cara ini, permukiman dan kebun warga tetap aman dari gajah, dan mereka dapat hidup berdampingan.
Selain agroforestri, KTH Alam Pusaka Jaya juga mengembangkan peternakan kambing bantuan dari PT Pertamina Hulu Rokan. Bantuan berupa indukan kambing dari perusahaan migas ini telah berkembang pesat.
“Kami saat ini juga fokus pada peternakan kambing yang dibantu PHR. Awalnya bantuan berupa indukan kambing tiga belas ekor, sembilan betina dan tiga jantan, sekarang Alhamdulilah sudah dua puluh tiga ekor, sangat bagus pertumbuhannya, dan kesehatannya kita pantau terus. Kami bahkan bisa berkurban dua ekor kambing tahun ini,” terang Suparto.
Sementara, Social Performance PT PHR, Priawansyah, menceritakan komitmen PHR terkait konservasi ini sangat jelas. Itu dapat dilihat dari selain untuk gajah liar, PHR juga mendanai program konservasi gajah jinak di Pusat Pelatihan Gajah (PPG) Minas, Kabupaten Siak, Riau. Hal tersebut bentuk intervensi PHR dan mitra melalui mitigasi konflik antara manusia dengan satwa.
“Diplomasi dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk tidak membunuh gajah, membagi bibit tanaman bernilai ekonomis tapi tidak disukai gajah, juga tanaman yang disukai gajah,” ujarnya.
Mengapa PHR memilih program agroforestri yang ditawarkan Rmba Satwa Foundation? Saat ditemui pada Kamis, 22 Agustus lalu, lelaki kelahiran Aceh ini menjelaskan alasannya, “untuk melindungi alam, dalam hal ini habitatnya gajah.”
Selama ini tanaman warga monokultur, sawit semua atau karet semua. Dengan penambahan berbagai macam jenis tanaman melalui agroforestri, habitatnya gajah dengan keanekaragaman hayati dari segi floranya sudah berkembang.
“Meskipun itu belum maksimal, karena tidak mungkin instan. Tetapi kita sudah berusaha melakukannya. Dan tanaman yang ditanam itu kan ramah gajah,” ulasnya.
Priawansyah mengaku mendapatkan informasi dari seorang ahli gajah bernama Wisnu yang menjadi konsultan RSF, bahwa agroforestri untuk konservasi gajah yang dilakukan PHR bersama RSF ini merupakan yang pertama di Indonesia.
PHR, menurut Priawansyah, tidak memiliki kompetensi di bidang konservasi dan agroforestri ini. Karenanya PHR harus menggandeng mitra yang mengerti tentang hal itu, sembari memonitor dan mengevaluasi.
Proses kemitraan PHR-RSF inipun berlangsung cepat. “Langsung cepat. Begitu di tahun 2021 alihkelola dari Chevron ke PHR, mereka (RSF) memasukkan proposalnya langsung kita evaluasi dan kami langsung setujui untuk dilaksanakan. Makanya itu sejak 2021 dilakukannya,” terang Priawansyah.
Secara umum, agroforestri yang dikerjakan RSF dinilai bagus. Priawansyah menjelaskan, dari tahun 2021 sampai 2023 ada potensi konflik dari movement (pergerakan) gajah dengan masyarakat ada 177 kasus, itu bisa tertangani sampai 150 lebih.
“(Tertangani itu maksudnya) Misalnya begini. Kita ada pasang GPS Collar ya di induknya gajah. Ada lima. Dengan sinyal yang diberi oleh (GPS Collar) itu ke HP (telepon selular) kita, gajah menuju , misalnya ke Bali Pungut ataupun Balai Raja, kita langsung kasih tahu ke orang-orang di Balai Raja bahwa gajah menuju ke situ. RSF pun melakukan pengawalan sehingga gajah-gajah itu tidak langsung masuk ke perkebunannya masyakarat. Digiring pelan-pelan, seperti itu,” jelasnya.
Sebelumnya, ketika belum terkoordinir dengan baik, kecenderungan masyarakat reaktif. Melihat gajah yang mereka lakukan adalah membuat mercon-mercon, meriam, dan macam-macamlah. Kemudian gajah sudah sempat mengorek tanaman-tanaman masyarakat. Itu bentuk konflik antara gajah dan manusia. Artinya, salah satu pihak jadi dirugikan.
Sampai kapan? “Saat ini sampai sepuluh tahun ke depan. Kita berharap selama PHR ada, proyek ini tetap ada. “Melestarikan gajah Sumatra, baik gajah liar maupun gajah jinak,” pungkas Priawansyah. *Abs