ArtikelPendapat

Parasocial Relationship di Era Digital: Ketika Kedekatan Semu Menjadi Nyata

Penulis: Robing SHum MIKom

Dalam era teknologi yang semakin canggih dan dunia yang terhubung secara digital, fenomena parasocial relationship atau hubungan parasosial menjadi semakin relevan dan menarik untuk dikaji bagi para peneliti. Istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald Horton dan Richard Wohl pada tahun 1956 ini kini mengalami transformasi signifikan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media sosial.

Parasocial relationship adalah hubungan satu arah di mana seorang individu mengembangkan keterikatan emosional terhadap tokoh media atau selebritas meskipun fakta bahwa tokoh tersebut tidak menyadari keberadaan individu tersebut. Di era digital, fenomena ini tidak terbatas pada karakter televisi atau film, tetapi juga mencakup influencer media sosial, streaming, vlogger, dan bahkan karakter virtual.

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, parasocial relationship di era digital memiliki beberapa karakteristik unik:

1. Intensitas Interaksi: Media sosial memungkinkan “interaksi” yang lebih sering dan intens antara penggemar dan tokoh idola. Komentar, likes, dan pesan langsung menciptakan ilusi kedekatan yang lebih kuat.

2. Ilusi Resiprokal: Fitur seperti Instagram Stories atau TikTok Live menciptakan kesan seakan tokoh idola mereka berbicara langsung kepada penggemarnya, hingga menimbulkan perasaan koneksi secara personal.

3. Fragmentasi Identitas: para selebriti, influencer atau tikoh media kini dapat menampilkan berbagai sisi kehidupan mereka, dari profesional hingga personal, membuat penggemar merasa mengenal mereka secara lebih utuh dan dekat.

4. Komunitas Virtual: Penggemar dapat bergabung dengan komunitas Online atau fanbase mereka, hal ini semakin memperkuat hubungan parasosial mereka melalui interaksi dengan sesama penggemar.

5. Monetisasi Hubungan: fitur seperti Exclusive by Instagram atau paltform OnlyFans memungkinkan tokoh media untuk memonetisasi hubungan parasosial, menciptakan dinamika baru dalam interaksi, sehingga mereka merasa lebih dekat dan personal dengan tokoh idolanya.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam kasus penggemar Taylor Swift yang dikenal sebagai “Swifties” dan penggemar BTS yang disebut “ARMY”. Kedua fandom ini menunjukkan bagaimana parasocial relationship dapat membentuk identitas kolektif dan mempengaruhi perilaku penggemar:

Misalnya Swifties: Penggemar Taylor Swift menunjukkan tingkat dedikasi yang luar biasa. Mereka tidak hanya mengikuti setiap rilis musik dan tur konser Swift, tetapi juga menganalisis secara mendalam lirik-liriknya, mencari “Easter eggs” atau petunjuk tersembunyi dalam video musiknya, dan bahkan mengadopsi nilai-nilai yang dipromosikan oleh Swift.

Misalnya, ketika Swift mendorong penggemarnya untuk mendaftar sebagai pemilih dalam pemilu AS, ribuan Swifties merespons dengan mendaftarkan diri. ARMY: Fandom BTS menunjukkan bagaimana parasocial relationship dapat melampaui batas bahasa dan budaya. ARMY tidak hanya mendukung musik BTS, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan amal dan kampanye sosial yang diinisiasi oleh grup tersebut. Mereka mengorganisir diri secara global untuk memenangkan penghargaan, memecahkan rekor streaming, dan bahkan melakukan aksi sosial atas nama BTS. Hubungan parasosial ini begitu kuat sehingga banyak ARMY melaporkan peningkatan kesejahteraan mental dan rasa belonging melalui keterlibatan mereka dengan BTS dan sesama penggemar.

Kedua contoh ini mengilustrasikan bagaimana parasocial relationship di era digital dapat:

1. Membentuk Identitas: Menjadi Swiftie atau ARMY bukan sekadar label penggemar, tetapi menjadi bagian integral dari identitas seseorang.

2. Mendorong Aksi Kolektif: Penggemar termotivasi untuk bertindak bersama, baik dalam konteks dukungan terhadap idola maupun untuk tujuan sosial yang lebih luas.

3. Menciptakan Komunitas Global: Hubungan parasosial memfasilitasi pembentukan komunitas global yang melampaui batas geografis dan budaya.

4. Mempengaruhi Industri: Dedikasi penggemar dapat mempengaruhi tren industri musik dan hiburan, bahkan ekonomi secara lebih luas. Misalnya dengan diadakannya tur konser Taylor swfit dapat berdampak posifitf bagi ekonomi suatu negara, fenomena ini disebut “Swiftonomics”.

Meski hubungan parasosial dapat memberikan rasa keterhubungan dan dukungan emosional, terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai:

-Ekspektasi Tidak Realistis: Penggemar mungkin mengembangkan harapan yang tidak realistis terhadap tokoh idola mereka.

-Ketergantungan Emosional: Beberapa individu mungkin terlalu mengandalkan hubungan parasosial untuk pemenuhan kebutuhan sosial mereka.

-Eksploitasi: Tokoh media dapat memanfaatkan hubungan parasosial untuk keuntungan pribadi atau komersial.

-Distorsi Realitas: Hubungan parasosial yang intens dapat mengaburkan batas antara realitas dan fantasi.

Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, penting bagi kita untuk memahami dan menyikapi fenomena ini dengan bijak. Edukasi tentang literasi media dan kesehatan mental menjadi krusial dalam konteks ini. Kita perlu mengakui bahwa hubungan parasosial dapat memberikan manfaat positif seperti inspirasi dan motivasi, namun juga harus tetap mempertahankan perspektif yang sehat tentang batas-batas hubungan virtual ini.

Bagi para praktisi komunikasi dan pemasaran, pemahaman tentang dinamika hubungan parasosial ini dapat menjadi alat yang powerful untuk engagement audience. Namun, ini juga membawa tanggung jawab etis yang besar untuk tidak mengeksploitasi atau memanipulasi emosi penggemar.

Pada akhirnya, fenomena parasocial relationship di era digital merupakan cerminan dari kebutuhan manusia akan koneksi dan belonging. Tantangan kita adalah bagaimana menavigasi lanskap digital ini dengan tetap mempertahankan hubungan interpersonal yang autentik dan sehat dalam kehidupan nyata.**

Print Friendly, PDF & Email

Back to top button