PENGELOLAAN SAMPAH: PARSIAL VS SISTEMATIS
Prama Widayat
SETIAP manusia yang hidup pasti menghasilkan sampah seperti sisa makanan, sisa racikan di dapur, plastik kemasan makanan, bekas botol minuman, dan lainnya yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, jumlah timbulan sampah sebesar 36.113.922 ton/tahun dari 310 kabupaten/kota seluruh Indonesia yang sudah menginput data pada SIPSN. Jumlah sampah ini hanya 63,53% yang mampu dikelola sedangkan sisanya 36,47% tidak terkelola dengan segala keterbatasan.
Sumber sampah ini berasal dari rumah tangga (38,3%), pasar tradisional (27,6%), pusat perniagaan (14,5%), kawasan (6,2%), fasilitas publik (5,4%), perkantoran (4,8%) dan lainnya (3,2%). Secara keselurahan terdapat tujuh sumber sampah dan yang paling dominan berasal dari rumah tangga sebesar 38,8% sehingga untuk pengelolaan sampah harus dimulai dari sumber. Komposisi sampah yang dihasilkan terdiri dari sisa makanan (40,2%), plastik (18,1%), kayu ranting daun (13%), kertas/karton (11,3%), logam (3%), kain (2,6%), kaca (2,2%), karet/kulit (2,1%) dan lainnya (7,4%). Bisa dilihat bahwa sisa makanan yang kita hasilkan merupakan sampah paling banyak sebesar 40,2% karena pola hidup manusia yang senang menyisakan makanan ketika makan, tanpa sadar kebiasaan tersebut menjadi penyumbang sampah.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah mengamanatkan dua mekanisme yang harus dilakukan, yaitu pengurangan (pasal 20) dan penanganan (pasal 22), dengan demikian pengelolaan sampah dilakukan dari hulu ke hilir. Pengurangan dapat dilakukan dengan (1) pembatasan timbulan sampah, (2) melakukan daur ulang sampah dan (3) memanfatkan kembali barang yang masih bisa digunakan. Penanganan dapat dilakukan dengan (1) pemilahan, (2) pengumpulan, (3) pengangkutan, (4) pengolahan, dan (5) pemrosesan akhir.
Selama ini pengelolaan yang dilakukan pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota hanya angkut dan memindahkan sampah dari sumber sampah menuju TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), lebih ironisnya masyarakat menganggap TPA itu Tempat Pembuangan Akhir dan ini terbukti ketika dilakukan sosialisasi di beberapa tempat. Wajar saja jika masyarakat menganggap permasalahan sampah sudah selesai ketika mereka sudah membuang sampah didepan rumah dan kemudian diangkut oleh mobil angkutan sampah untuk selanjutnya dibawa ke TPA.
Parsial
Perlu dilakukan perubahan pola pengelolaan sampah karena cara-cara yang dilakukan saat ini masih sangat tradisional, tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman ketika jumlah manusia meningkat dan sampah yang dihasilkan juga naik drastis. Sistem ambil sampah dari rumah kemudian diangkut oleh mobil angkutan sampah lalu dibuang ke TPA, ini bukan lagi cara yang bijak dan tidak berwawasan lingkungan. Cara lama ini menyelesaikan permasalahan sampah secara parsial karena hanya memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain, sampah pada satu tempat hilang tetapi terjadi penumpukan sampah pada tempat lain.
Sistem AAB (Ambil-Angkut-Buang) tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini karena TPA masing-masing provinsi, kota dan kabupaten sudah overload dan keterbatasan lahan, TPA seharusnya melakukan pemrosesan akhir agar sampah itu aman saat dikembalikan ke alam namun nyatanya hanya sekadar ditumpuk menjadi gunung sampah. Jangka waktu tertentu TPA akan penuh dan selanjutnya pemerintah sibuk mencari lahan baru untuk menampung sampah. Selama ini pemerintah masih terlalu nyaman menggunakan sistem AAB, bisa dihitung dengan jari pemerintah provinsi, kota dan kabupaten yang betul-betul melakukan pengelolaan sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 dengan alasan keterbatasan anggaran.
Sebenarnya bukan anggaran yang terbatas tetapi kemauan untuk melakan perubahan itu tidak ada. Jika kemauan itu dimiliki maka segala keterbatasan bisa diatasi. Setiap pemerintah provinsi, kota dan kabupaten memegang kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur wilayah masing-masing, termasuk mengatur pengelolaan sampah. Payung hukum sudah diberikan pemerintah pusat, tetapi gerakan pemerintah provinsi, kota dan kabupaten sangat lambat. Hal ini terbukti sejak tahun 2008 dikeluarkannya undang-undang pengelolaan sampah sampai tahun 2023 bisa dilihat berapa persen yang menerapkannya.
Sistematis
Tidak ada hal yang mustahil jika ada kemauan untuk melakukan perubahan dalam pengelolaan sampah. Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pengelolaan sampah, seperti membentuk bank sampah induk dan TPS3R setingkat Kelurahan kemudian disertai membentuk bank sampah unit setingkat RW (rukun warga). Pemerintah setingkat provinsi dengan kekuasan dan kewenangannya bisa memberikan intruksi kepada perangkat di bawahnya dimulai dari walikota/bupati, dinas, camat, lurah, hingga RW untuk membentuk bank sampah dan TPS3R.
Jika terbatas dari segi anggaran maka bisa bermitra dengan perusahan-perusahaan yang beroperasi di wilayah masing-masing karena setiap perusahaan punya tanggung jawab dalam bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) maupun TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan). Kewajiban perusahaan ini diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 47 Tahun 2012, dimana setiap perusahaan yang bidang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam wajib memberikan TJSL baik di lingkungan dalam maupun luar perusahaan.
Tanggung jawab lain perusahaan bisa berupa EPR (Extended Producer Responsibilty), program ini bertujuan agar produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka disemua rantai produk yang dimulai dari desain sampai dengan pembuangan produk oleh konsumen. Prinsip EPR ini mulai dikenalkan saat world summit sustainable development tahun 2002 di Johannesburg yang merekomendasikan upaya produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, walaupun ini belum secara spesifik mengarah pada EPR. Pertemuan G-8 di Tokyo tahun 2005 dan 2006 baru secara spesifik membahas tentang EPR. Produsen besar yang ada di Indonesia saat ini sepert Mayora, Nestle, Indofood, Sianta Top, Diamond Food Indonesia dan lainnya, mereka ini punya kewajiban membeli kembali sampah dari produk yang sudah digunakan oleh konsumen. Kewajiban ini bisa berupa insentif yang mereka
Jika terbatas dari segi sumber daya manusia maka pemerintah bermitra dengan pihak kampus karena mereka memiliki tri dharma perguruan tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian. Kampus memiliki dosen dan mahasiswa yang bisa diberdayakan untuk melakukan sosialisasi ditengah masyarakat melalui tri dharma tersebut. Pemerintah juga bisa bermitra dengan perkumpulan dan asosiasi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, untuk saat ini terdapat dua organisasi yaitu Asobsi (Asosiasi Bank Sampah Indonesia) yang berdiri tahun 2017 dan Perbanusa (Perkumpuan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara) berdiri tahun 2022.
Pihak media juga perlu dilibatkan untuk menyebarluaskan pesan kepada masyarakat terkait pengelolaan sampah, mengajak untuk peduli terhadap lingkungan dan kampanye program bank sampah. Pengelolaan secara sistematis melibatkan Pemerintah – Perguruan Tinggi – Perusahaan – Masyarakat – Asosiasi – Media.
Bank sampah dan TPS3R
Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan membentuk bank sampah induk setiap Kelurahan, bisa didirikan secara swadaya oleh masyarakat maupun dibentuk oleh pemerintah setempat. Bank sampah yang dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah harus mendapatkan perlakuan yang sama karena keduanya memiliki tujuan yang sama untuk mengelola sampah dimulai dari sumber. Melihat perkembangan bank sampah diseluruh Indonesia, hampir 90% didirikan oleh kelompok masyarakat artinya kesadaran masyarakat sudah mulai tumbuh dalam mengelola sampah.
Berdasarkan data SIMBA (Sistem Informasi Manajemen Bank Sampah) bahwa jumlah bank sampah diseluruh Indonesia 237 (induk) dan 27.055 (unit), hadirnya bank sampah merupakan ujung tombak pengelolaan sampah karena melibatkan masyarakat secara langsung untuk memilah sampah sejak dari rumah. Masyarakat memilah sampah non organik seperti kertas, kardus, bekas botol minuman, bekas kemasan makanan, kaleng, karah-karah, kresek dan lainnya yang tidak termasuk sampah berbahaya, karena bank sampah khusus menerima sampah non organik. Pemilahan yang dilakukan sejak dari rumah setidaknya mampu mereduksi sampah hingga 30% agar tidak dibawa ke TPA.
TPS3R juga dibangun bersamaan dengan bank sampah yang berfungsi untuk pemilahan sampah yang diangkut dari rumah. Sampah yang diambil dari rumah bercampur antara organik, non organik dan residu, tujuan pemilahan ini untuk memisahkan mana sampah yang bernilai ekonomi dan mana yang tidak bernilai ekonomi. Sampah organik bisa dijadikan kompos dan juga pakan maggot sedangkan sampah residu dibawa ke TPA, tetapi jika TPS3R memiliki fasilitas mesin incinerator pembakar sampah maka sampah residu tidak perlu dibawa ke TPA karena semua sudah selesai di TPS3R.
Amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 untuk pengelolaan sampah dijalanan dengan konsep bank sampah dan TPS3R. Sekarang pilihannya ada pada pemerintah, apakah masih mau menjalankan pengeloaan secara parsial atau sistematis.**
Prama Widayat, Ketua Perbanusa (Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara) DPD 1 Riau, Dosen Manajemen Universitas Lancang Kuning, Mahasiswa S3 Manajemen Universitas Riau