ArtikelBerita TerbaruPendapat

HPSN 2023: KESADARAN KOLEKTIF

oleh: Prama Widayat**

Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) untuk mengenang tragedi longsornya TPA Leuwigajah Cimahi Jawa Barat Tanggal 21 Februari 2005, dimana longsornya sampah tersebut menggulung dua kampung yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Pojok yang menewaskan 157 orang. Hal ini terjadi karena pola pengelolaan sampah yang salah dengan cara open dumping dimana sampah dibuang dan ditumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah yang menumpuk dan menggunung setinggi 60 meter dan panjangnya mencapai 200 meter goyah karena diguyur hujan lebat selama semalaman, akhinya meledak karena gas metana yang terkandung dalam tumpukan sampah tersebut, akibatnya jutaan meter kubik sampah menimbun rumah dari dua kampung tersebut.

Maka sejak 21 Februari 2006 dimulai peringatan HPSN dengan beragam tema dan aneka kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk menggugah masyarakat lebih peduli dan sadar akan kebersihan lingkungan. Namun hal ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan karena perilaku kita sebagai manusia Indonesia ternyata tidak bisa disadarkan dengan mudah (Rahmadani, 2020). Hampir sepanjang hari kita saksikan masyarakat membuang sampah sembarangan, sampah diangkut ke TPA, ditumpuk lalu ketika TPA penuh, tinggal mencari lokasi baru untuk memindahkan masalah kelokasi yang baru.

Peran Pemerintah
Pemerintah selaku operator sudah mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Gerakan memilah sampah dari rumah, Peraturan Menteri LHK Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Pada Bank Sampah. Dari 3 payung hukun yang disebutkan diatas, belum mampu menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia karena pemerintah tidak konsisten dalam menjalankannya.
Hal ini terjadi karena pada tingkatan pemerintah daerah mulai dari level gubernur sampai walikota/kabupaten tidak serius mendukung program pengelolaan sampah, kita lihat ada berapa banyak peraturan gubernur, walikota/bupati yang secara spesifik mengatur tentang pengelolaan sampah dan peraturan tersebut betul-betul dijalankan. Maka jangan heran pada level camat ataupun lurah mereka tidak menjalankan dengan serius pengelolaan sampah karena kontrol dari walikota/bupati yang rendah, dan kontrol gubernur juga seadanya untuk sekedar melepaskan tanya saja.
Mudah saja untuk melihat keseriusan sebuah provinsi, kabupaten ataupun kota dalam pengelolaan sampah, : (1) Sikap gubernur, bupati atau walikota. Apakah mereka menganggap sampah sebagai sesuatu yang danger atau malahan menganggap sampah bukan hal yang begitu penting. (2) adakah peraturan daerah tentang pengelolaan sampah sebagai turunan dari Undang-undang diatasnya, (3) adakah dikampanyekan sampai level RT untuk memilah sampah sejak dari rumah, (4) adakah bank sampah untuk menampung sampah yang sudah dipilah oleh masyarakat, (5) adakah RT dan RW yang mendukung program pengelolaan sampah.

Peran masyarakat
Sampah yang dihasilkan setiap hari berasal dari masyarakat, semakin banyak penduduk disuatu wilayah maka akan menambah jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari, dari data kementerian LHK menyebutkan bahwa saat ini 175.000 ton sampah yang dihasilkan per hari di Indonesia, atau setara dengan 0,7 kg sampah per orang per hari. Jika masyarakat tidak merubah kebiasaan dalam mengelola sampah masing-masing maka permasalahan sampah akan terus terjadi.
Kalau masyarakat beranggapan dengan membayar iuran sampah Rp 15.000 – Rp 50.000 per bulan maka masalah sampah akan selesai, maka ini menjadi kesalahan yang fatal karena hal ini hanya memindahkan masalah dari rumah ketempat lain yaitu TPA. Bagaimana jika rumah kita dijadikan tempat pembuangan sampah, saya yakin dan percaya tidak akan ada yang bersedia, itulah yang terjadi karena masyarakat di sekitar TPA juga tidak mau menerima sampah tetapi karena mereka tidak punya kemampuan untuk menolak karena mereka juga dapat kompensasi.
Tetapi jika sampah sudah dipilah sejak dari rumah, minimal sampah organik dan non organik maka setidaknya kita sudah mengurangi beban TPA dan sebagian sampah yang masih bernilai, bisa ditabung di bank sampah terdekat.

Peran Perusahaan
Setiap perusahaan pasti memiliki dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sehingga mereka punya kewajiban untuk membantu warga dilokasi operasional perusahaan termasuk dalam hal pengelolaan sampah. Terlebih juga berdasarkan Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, maka perusahaan wajib mengelola sampah yang mereka hasilkan. Tentunya setiap produsen bisa menjalin Kerjasama dengan kelompok masyarakat pengelola lingkungan seperti bank sampah.
Sampai saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang menjalankannya seperti Pertamina Hulu Rokan (PHR), PT PLN, Danone, Pegadaian, Astra grup dan lainnya. Kita berharap semua perusahaan yang ada di Republik Indonesia ini menjalankan Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 agar membantu mengelola sampah. Sebenarnya sudah banyak bank sampah yang berdiri untuk mengelola sampah tetapi masih sangat sedikit yang dijangkau atau digandeng oleh perusahaan untuk menyalurkan dana CSR atau TJSL nya.
Penyaluran dana CSR atau TJSL setidaknya untuk menyediakan kendaraan operasional penjemputan sampah, bangunan tempat pemilahan sampah dan timbangan. Ini adalah kebutuhan pokok bagi bank sampah sehingga mereka mampu menjalankan operasionalnya untuk skala satu kelurahan.

Peran Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi sebagai tempat berkumpulnya intelektual dan pemikir, diharapkan menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan sampah melalui riset yang dilakukan dan juga program pengabdian kepada masyarakat untuk mengkampanyekan Gerakan memilah sampah sejak dari rumah. Dunia kampus bisa sebagai pembina bagi bank sampah yang ada disekitar lingkungan kampus sehingga disebut centre of excellent.
Kampus juga sebagai lembaga edukasi, setidaknya mampu memberikan solusi atas permasalahan sampah disuatu daerah karena permasalahan sampah disetiap daerah itu sangat berbeda tergantung kondisi masyarakat. Kita lihat selama ini sepertinya ada gap antara kehidupan kampus dengan kebutuhan masyarakat, kampus seringkali terlambat memberikan respon atas permasalahan yang ada ditengah masyarakat karena beberapa karya ilmiah yang dihasilkan hanya berakhir menjadi tumpukan kertas digudang arsip.

Kesadaran kolektif
Harus ada semangat kebersamaan dari pemerintah, masyarakat, perusahaan dan perguruan tinggi untuk bersama mengatasi permasalahan sampah dengan memunculkan kesadaran kolektif, setiap tahun kita melakukan peringatan hari peduli sampah tetapi kita masih melakukan pembuangan sampah ke TPA, artinya ini menjadi kontraproduktif antara yang kita ucapkan denga napa yang dilakukan.
Jika pemerintah serius untuk mengelola sampah maka harus ada peraturan daerah yang mengatur secara spesifik pengelolaan sampah dan itu wajib dijalankan sampai tingkatan RT, lakukan secara bertahap. Seperti tahun pertaman sosialisasi sampai tingkat RT, tahun kedua jika masih ada masyarakat yang tidak patuh, berikan sangsi yang menimbulkan efek jera. pemerintah memfasilitasi berdirinya bank sampah minimal satu kelurahan memiliki satu bank sampah, kemudian didukung oleh pihak swasta melalui program CSR atau TJSL, serta perguruan tinggi sebagai tim edukasi dan juga riset. Kalau ini dijalankan maka masyarakat juga akan bergerak secara kolektif. Inilah yang harus kita bangun saat ini yaitu kesadaran kolektif. Dari sampah yang udah dikelola maka akan mengalir pundi-pundi ekonomi kepada masyarakat, dari sampah mengalir rupiah.

**Ketua Perbanusa Riau dan Dosen Manajemen Universitas Lancang Kuning

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button