MIKTA Sebagai Kekuatan Penyeimbang dalam Penyelesaian Isu Global
Oleh: Lusia Novita Sari *)
Setelah sukses dengan Presidensi G20 di tahun 2022, pada tahun 2023 Indonesia tidak hanya menerima estafet keketuaan ASEAN dari Kamboja, tetapi juga keketuaan MIKTA dari Turki. MIKTA adalah forum konsultatif antar 5 negara yaitu Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turkiye, dan Australia. MIKTA dibentuk pada tahun 2013 melalui pertemuan para Menteri Luar Negeri kelima negara anggota di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-68 di New York, Amerika Serikat. Pembentukan MIKTA bertujuan memperkuat kerja sama antarnegara anggotanya untuk berkontribusi menjawab berbagai permasalahan global. Dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Tahun 2023 tanggal 11 Januari 2023, Menteri Luar Negeri menyampaikan bahwa Indonesia akan berupaya meningkatkan visibilitas MIKTA sebagai bridge-builder dalam penyelesaian isu global.
Kelima negara anggota MIKTA merupakan negara anggota G20 yang tidak tergabung dengan 2 kelompok kekuatan G7 (Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Kanada) dan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Sebagai model baru kerja sama lintas wilayah, kehadiran MIKTA diharapkan dapat menjadi penyeimbang di tengah rivalitas negara-negara adidaya (great power rivalry), mengingat kelima negara anggotanya merupakan representasi negara-negara kekuatan menengah (middle power) di wilayahnya masing-masing. Meksiko merepresentasikan wilayah Amerika Selatan, Indonesia untuk wilayah Asia Tenggara, Korea Selatan untuk wilayah Asia Timur, Turkiye untuk wilayah Eurasia, dan Australia untuk wilayah Pasifik dan Oseania. Memegang tampuk keketuaan MIKTA pada tahun 2023 ini akan menjadi momentum penting bagi Indonesia mengingat bersamaan dengan Peringatan HUT ke-10 MIKTA, sekaligus bersamaan dengan Indonesia menduduki keketuaan ASEAN. Namun demikian, tentunya juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, khususnya terkait bagaimana Indonesia akan mewujudkan visi menjadikan MIKTA sebagai bridge-builder di tengah great power rivalry.
Pembentukan MIKTA didasarkan pada tiga tujuan utama yaitu (i) menjadi kemitraan inovatif baru guna mempromosikan kepentingan publik global melalui upaya-upaya konstruktif dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi komunitas internasional; (ii) menjadi platform konsultatif lintas wilayah untuk meningkatkan saling pengertian dan memfasilitasi pertukaran pandangan antarlima negara anggotanya; serta (iii) menjadi kelompok konsultatif terbuka dan informal yang anggotanya bebas bertukar pandangan di berbagai forum internasional. Sebagaimana diamanatkan dalam MIKTA Vision Statement Tahun 2015, MIKTA berkomitmen untuk berperan aktif dalam diskusi tentang isu-isu global di forum multilateral guna mengurangi kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang di tengah berbagai kebijakan yang terpolarisasi.
Profil Negara Anggota MIKTA
Meskipun kompetisi antarnegara tidak dapat dihindari, tatanan politik global saat ini berbeda jika dibandingkan dengan pada masa Perang Dingin. Kemajuan ekonomi negara-negara berkembang, distribusi kekuatan dan pengaruh, serta munculnya berbagai isu global baru, menyediakan lebih banyak ruang bagi negara-negara berkembang sebagai middle power untuk berkontribusi dan memainkan peran penting dalam politik global. Namun demikian, tidak seperti negara-negara great power yang memiliki sumber daya dan pengaruh yang telah mapan dan mumpuni, negara-negara middle power tidak dapat menjalankan peran dan menghasilkan perubahan nyata dalam politik global apabila hanya bergerak sendiri. Negara-negara middle power perlu saling bekerja sama guna mendorong kemitraan baru dan inovatif, sehingga mampu memberikan solusi konstruktif terhadap berbagai tantangan global.
Pendirian MIKTA tidak terlepas dari pengaruh pergeseran tatanan global dan fenomena middle power dimaksud. Selain berbagi cita-cita, kepentingan, dan komitmen untuk berkontribusi terhadap berbagai tantangan global, kelima negara anggota MIKTA memiliki beberapa persamaan yang menjadi pondasi kerja sama yang dilakukan, antara lain, (i) kekuatan ekonomi yang dibuktikan dengan PDB yang besar, (ii) peran aktif dan kontribusi di berbagai forum regional dan multilateral, serta (iii) penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, kedaulatan, dan HAM. Negara-negara anggota MIKTA juga memiliki hubungan bilateral yang baik satu sama lain, khususnya di bidang perdagangan dan investasi. Beberapa negara juga memiliki hubungan kemitraan yang istimewa satu sama lain, misalnya Special Strategic Partnership antara Indonesia dan Korea Selatan, Strategic Cooperation and Partnership Framework for the 21st Century antara Turkiye dan Meksiko, dan Comprehensive Strategic Partnership antara Indonesia dan Australia.
1. Meksiko
Berdasarkan data World Bank tahun 2021, Meksiko menduduki peringkat ke-15 negara dengan PDB terbesar di dunia (1,29 triliun Dolar AS). Meski secara ekonomi menduduki peringkat ke-2 di kawasan, Meksiko lebih memiliki kedekatan budaya dan politik dengan negara-negara Amerika Latin lainnya, jika dibandingkan dengan Brazil. Sebagai negara middle power, Meksiko telah membangun mekanisme dialog politik yang konstruktif dengan negara-negara Amerika Latin lainnya guna memfasilitasi konsensus regional dan berkontribusi dalam pembangunan kawasan, serta aktif di berbagai organisasi dan blok dagang kawasan, antara lain Organization of American States (OAS), Pacific Alliance, dan Southern Common Market (Mercosur). Pada tahun 1991, Meksiko menginisiasi pembentukan Tuxtla Mechanism of Dialogue and Agreement sebagai mekanisme pembahasan isu-isu pembangunan Mesoamerika. Meksiko merupakan negara anggota yang pertama kali menduduki keketuaan MIKTA dan berperan meletakkan berbagai dasar-dasar organisasi.
2. Indonesia
Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang menjadi anggota G20. Berdasarkan data World Bank tahun 2021. Indonesia merupakan negara peringkat ke-16 PDB terbesar di dunia (1,18 triliun Dolar AS). Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 pada tahun 2050. Kebijakan luar negeri bebas-aktif mencerminkan komitmen dan pandangan Indonesia terhadap tatanan internasional dan bagaimana Indonesia dapat aktif berpartisipasi dalam tatanan tersebut. Hubungan dengan negara-negara berkembang menjadi fokus diplomasi Indonesia di bawah kebijakan luar negeri bebas-aktif. Sebagai negara middle power, Indonesia telah menorehkan tinta emas dalam menunjukkan peran dan kontribusinya terhadap permasalahan regional dan global, antara lain, menginisiasi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 yang melahirkan inisiatif pembentukan Gerakan Non Blok (GNB), senantiasa mendorong terwujudnya solusi damai antara Palestina dan Israel berdasarkan prinsip two-state solution, menjadi leader ASEAN, dan upaya menjadi jembatan perdamaian bagi Rusia dan Ukraina. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi Ketua MIKTA pada periode Januari 2018-Februari 2019. Di bawah keketuaan Indonesia saat itu, lingkup kerja sama MIKTA semakin luas, antara lain di bidang ekonomi kreatif, pariwisata, dan kebudayaan. Adapun isu prioritas yang akan diusung pada keketuaan Indonesia pada MIKTA di tahun 2023 adalah penguatan multilateralisme, pemulihan inklusif, dan transformasi digital.
3. Korea Selatan
Pada tahun 2021, Korea Selatan menduduki peringkat ke-10 negara dengan PDB terbesar di dunia (1,79 triliun Dolar AS). Korea Selatan adalah satu-satunya negara yang sukses mencapai demokratisasi dan industrialisasi secara bersamaan di antara negara-negara yang merdeka setelah Perang Dunia II. Sebagai negara middle power, Korea Selatan menjadi salah satu investor, mitra dagang, dan donor ODA terbesar bagi negara-negara berkembang di kawasan Asia. Korea Selatan dianggap menjadi salah satu negara yang sukses menjembatani antara negara berkembang dan negara maju, melalui peran aktif dan kontribusi Korea Selatan di berbagai organisasi internasional, seperti G20 dan OECD. Untuk di MIKTA sendiri, Korea Selatan telah dua kali menduduki posisi Ketua MIKTA, yaitu pada periode 2014-2015 dan 2020-2021. Di bawah keketuaan Korea Selatan, MIKTA meluncurkan National Assembly Speakers dan Academic Networks sebagai mekanisme pertemuan baru, mengadopsi MIKTA Vision Statement, dan menyusun rekomendasi terkait pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.
4. Turkiye
Pada tahun 2021, Turkiye menduduki peringkat ke-19 negara dengan PDB terbesar di dunia (815 miliar Dolar AS). Prinsip kebijakan luar negeri Turkiye adalah “zero problem” dan “strategic depth”. “Zero problem” merujuk pada upaya untuk menyelesaikan perselisihan dengan negara-negara tetangga, sementara “strategic depth” dimaksudkan sebagai kebijakan luar negeri Turkiye akan mencerminkan kedalaman sejarah dan kedekatan geografis dengan kawasan. Sebagai negara middle power di kawasan Eurasia yang dekat dengan negara-negara Timur Tengah, Turkiye telah memainkan banyak peranan penting, antara lain, menjembatani dialog antara Israel dan Palestina, menyelesaikan konflik dengan etnis Kurdi di Irak dan Suriah, serta menjembatani penyelesaian Perang Saudara di Suriah. Sejak tanggal 7 Maret 2022, Turkiye memegang jabatan Ketua MIKTA, setelah sebelumnya pernah menjadi Ketua pada periode tahun 2017. Secara khusus di bawah keketuaan Turkiye tahun 2022, isu prioritas MIKTA adalah kesehatan global, manajemen migrasi yang efektif, dan ketahanan pangan.
5. Australia
Pada tahun 2021 Australia menduduki peringkat ke-13 negara dengan PDB terbesar di dunia (1,54 Triliun Dolar AS). Sebagai negara middle power, Australia memiliki daya tawar yang cukup tinggi terhadap negara-negara great power, seperti Amerika dan China. Australia dapat dikatakan sekutu terkuat Amerika di belahan bumi Pasifik dan Oseania. Aliansi Amerika dan Australia dalam bidang keamanan telah terjalin setidaknya semenjak Perang Dunia II. Hal ini dapat dimaklumi mengingat selain karena beririsannya kepentingan keamanan kedua negara, keduanya juga sama-sama negara Anglo-Saxon. Dimensi psikologis ini terjelma kembali dalam bentuk kerja sama AUKUS (Australia, United Kingdom, and United States). Terlepas dari hubungan erat dengan Amerika, Australia tetap mampu menyeimbangkan hubungan bilateral yang baik dengan negara-negara di Asia dan Pasifik Selatan, termasuk dengan China. MIKTA dapat dipandang sebagai cerminan niatan Australia untuk tetap mempertahankan citranya sebagai negara middle power. Australia telah 2 kali menjadi Ketua MIKTA, yaitu pada periode 2015-2016 dan 2021. Di bawah keketuaan Australia, MIKTA mengadopsi 7 isu prioritas, yaitu (i) tata kelola energi, (ii) kontraterorisme, (iii) perdagangan dan kerja sama ekonomi, (iv) good governance dan demokrasi, (v) pembangunan berkelanjutan, (vi) kesetaraan gender, serta (vii) Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB.
Peluang dan Tantangan bagi MIKTA untuk menjadi Kekuatan Penyeimbang
Sebagai forum konsultatif negara-negara middle power, MIKTA berhasil memperkuat kerja sama antar 5 negara anggotanya dalam menyuarakan dan berkontribusi bagi isu-isu global melalui joint statement pada berbagai forum multilateral, khususnya G20. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara anggota MIKTA dihadapkan pada bayang-bayang negara-negara anggota G7 dan BRICS dalam proses agenda-setting dan decision-making di G20. Untuk itu, melalui MIKTA, kelima negara anggotanya dapat meningkatkan pengaruh di G20 dan menjadi penyeimbang di G20. Pada tanggal 15 November 2022, para pemimpin negara anggota MIKTA telah melakukan pertemuan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Indonesia. Dalam Pertemuan dimaksud, para pemimpin negara anggota MIKTA kembali menegaskan komitmen terhadap perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan global. Ke depannya, dalam mengatasi berbagai tantangan global di bidang keamanan dan perekonomian, MIKTA akan mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap hukum internasional, multilateralisme, serta kerja sama internasional.
Bentuk forum konsultatif dan kemitraan berbasis jaringan memberikan fleksibilitas bagi kemitraan MIKTA. Menyadari bahwa permasalahan global sangat dinamis dan sering kali permasalahan muncul bukan karena ketiadaan organisasi internasional, melainkan disebabkan oleh kurangnya koordinasi antarorganisasi internasional dan di tingkat intra organisasi internasional, negara-negara anggota MIKTA sepakat bahwa bentuk forum konsultatif dan kemitraan berbasis jaringan akan lebih efektif dan efisien untuk berkontribusi terhadap penyelesaian isu-isu global dibandingkan jika membentuk organisasi formal baru. Dengan keleluasaan tersebut, MIKTA dapat memperluas cakupan dan kedalaman kerja sama yang dilakukan sekaligus dapat bermitra dengan berbagai pemangku kepentingan di luar MIKTA sendiri. Mengingat negara-negara anggota MIKTA tersebar lintas kawasan, serta masing-masing negara anggota merupakan pemain penting di kawasannya masing-masing dan memiliki pengalaman yang berbeda dengan kerja sama di kawasan masing-masing, MIKTA memiliki peluang untuk memainkan peran sebagai platform dan hub bagi kerja sama lintas regional.
Namun demikian, MIKTA juga menghadapi tantangan untuk dapat menjadi kekuatan penyeimbang. Pertama, meski sebagai sesama negara middle power dan memiliki beberapa kesamaan, MIKTA sendiri bukan like-minded group yang lahir secara alami melalui persamaan budaya dan nilai seperti G7. Heterogenitas, tidak hanya budaya dan nilai, melainkan heterogenitas kepentingan, tentunya akan menjadi tantangan tersendiri untuk mengkonsolidasi komitmen negara-negara anggota MIKTA. Tidak semua agenda global tentunya akan mencapai konsensus di MIKTA, mengingat hal ini dipengaruhi oleh sejauh mana relevansi dengan kepentingan domestik negara serta perbedaan pandangan dan kepentingan antarnegara terhadap suatu agenda global, misalnya saja perbedaan sikap kelima negara anggota MIKTA terhadap isu kemerdekaan Palestina. Kedua, MIKTA juga harus mampu menunjukkan relevansinya terhadap berbagai agenda global di tengah banyaknya pembentukan mekanisme multilateral dan minilateral. Ketiga, dinamika lingkungan global itu sendiri akan menjadi tantangan bagi MIKTA, baik itu kompetisi negara adidaya maupun disrupsi ekonomi global. Dengan sumber daya dan pengaruh yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan negara-negara great power, negara-negara middle power membutuhkan waktu dan upaya lebih ekstra untuk merespon berbagai konflik global.
MIKTA harus mampu menjawab sejauh mana komitmen negara-negara anggotanya untuk berpartisipasi dalam pembahasan agenda-agenda global. Hal ini yang perlu menjadi prioritas untuk keketuaan Indonesia pada MIKTA di tahun 2023. Sebagaimana ASEAN yang masih penting dan relevan bagi rakyat, bagi kawasan, dan bagi dunia (disampaikan Presiden Joko Widodo ketika membuka secara resmi kick-off Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 pada tanggal 29 Januari 2023), MIKTA pun perlu menjadi penting dan relevan bagi negara-negara anggotanya, bagi kawasan masing-masing, dan juga bagi dunia. Paradigma kolaborasi guna menghadapi tantangan global perlu diusung dalam keketuaan Indonesia di MIKTA. Indonesia perlu menyusun strategi untuk mengajak keempat negara anggota MIKTA berbagi kesamaan dalam memandang dan merespon berbagai permasalahan global, khususnya pada 3 isu prioritas keketuaan Indonesia, yaitu penguatan multilateralisme, pemulihan inklusif, dan transformasi digital. Dengan demikian, eksistensi dan kontribusi MIKTA dan negara-negara anggotanya semakin relevan dalam tatanan politik global di tengah rivalitas negara-negara adidaya.
REFERENSI:
- Andrew Yeo, South Korean Foreign Policy in the Indo-Pacific Era, Brookings Policy Brief, November 2022.
- Department of Foreign Affairs and Trade of Australia, The Commonwealth of Australia’s 2017 Foreign Policy White Paper, https://www.dfat.gov.au/sites/default/files/2017-foreign-policy-white-paper.pdf.
- Giampiero Giacomello dan Bertjan Verbeek (eds.), Middle Powers in Asia and Europe in the 21st Century, Lexington Books, 2020.
- Gordon Flake dan Xu Wang, MIKTA: The Search for a Strategic Rationale, Perth USAsia Centre, January 2017, https://perthusasia.edu.au/getattachment/Our-Work/MIKTA-The-Search-For-A-Strategic-Rationale/MIKTA-report-June-2017.pdf.aspx?lang=en-AU.
- Günther Maihold. Mexico: A Leader in Search of like-Minded Peers. International Journal, vol. 71, no. 4, 2016, https://www.jstor.org/stable/26414057.
- Kathryn Botto, South Korea Beyond Northeast Asia: How Seoul Is Deepening Ties With India and ASEAN, Carnegie Endowment for International Peace, 2021, https://carnegieendowment.org/2021/10/19/south-korea-beyond-northeast-asia-how-seoul-is-deepening-ties-with-india-and-asean-pub-85572
- Kementerian Luar Negeri RI, 21st MIKTA Foreign Ministers’ Meeting on the Sidelines of FMM G20 Bali, https://kemlu.go.id/portal/en/read/3813/berita/21st-mikta-foreign-ministers-meeting-on-the-sidelines-of-fmm-g20-bali.
- Kementerian Luar Negeri RI, MIKTA: Current Situation and The Way Forward, 2018.
- M. Sheharyar Khan, The Transformation of Turkish Foreign Policy Towards the Middle East, Policy Perspectives , Vol. 12, No. 1 (2015), Pluto Journals.
- Malcolm Davis, Australia As A Rising Middle Power, RSIS Working Paper No. 328, 2020.
- MIKTA, 2020 MIKTA Booklet, http://mikta.org/wp-content/uploads/2022/03/2020-MIKTA-Booklet.pdf.
- MIKTA, 2020 MIKTA Sourcebook, http://mikta.org/wp-content/uploads/2022/03/2020-MIKTA-Sourcebook.pdf.
- Mo Jongryn (ed.), MIKTA, Middle Powers, and New Dynamics of Global Governance: The G20’s Evolving Agenda, Palgrave Macmillan, 2015. doi: 10.1057/9781137506467.0006.
- Seungjoo Lee dan Sangbae Kim (eds.), Korea’s Middle Power Diplomacy: Between Power and Network: Coalition Building in the Age of Power Shift and Power Diffusion, Springer, 2022.
*) Kepala Subbidang Hubungan Bilateral Afrika dan Timur Tengah, Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional, Sekretariat Kabinet
The post MIKTA Sebagai Kekuatan Penyeimbang dalam Penyelesaian Isu Global appeared first on Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.