Fenomena ChatGPT dalam Perspektif Literasi Digital, Kawan atau Lawan?
Oleh: Dr. Ananda* dan Dr. Dadang Syarif Sihabudin Sahid*
TIDAK BISA dipungkiri bahwa manusia bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Bertanya kepada yang lebih tahu atau yang lebih tua mungkin mulai terdisrupsi, apalagi di kalangan generasi milenial. Mereka lebih prefer bertanya kepada mesin karena dianggap lebih cepat dan lebih mudah. Bahkan dalam hal tertentu, mesin lebih lengkap dalam menyajikan informasi. Apakah informasi yang disampaikan mesin tersebut benar atau valid? Bisa ya, bisa juga tidak, seperti halnya manusia, kemampuan mesin dalam menjawab pertanyaan juga karena hasil belajar dan latihan. Ketika proses belajarnya semakin baik dengan dukungan data yang memadai, kemampuannya juga semakin meningkat.
Sebagai contoh kita bisa memberikan pertanyaan sederhana sebagai berikut:
Pertanyaan : Berapa jarak antara Pekanbaru ke Padang?
Jawaban Mesin : Jarak antara Pekanbaru, Riau, Indonesia dan Padang, Sumatera Barat, Indonesia
sekitar 409 km.
“Jarak antara Pekanbaru dan Padang dapat ditempuh dengan beberapa alternatif transportasi, seperti:
1. Mobil pribadi: Waktu tempuh sekitar 7-8 jam melalui jalur darat.
2. Kereta api: Ada beberapa rute kereta api yang dapat ditempuh dari Pekanbaru ke Padang, dengan waktu tempuh sekitar 12-14 jam.
3. Pesawat: Terdapat beberapa penerbangan setiap hari dari Pekanbaru (Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II) ke Padang (Bandar Udara Internasional Minangkabau), dengan waktu terbang sekitar 1 jam
Pilihan transportasi terbaik tergantung pada kebutuhan dan preferensi masing-masing individu.”
Pembicaraan di atas adalah sebuah dialog sederhana dan umum terjadi dalam keseharian, baik respon secara verbal maupun respon tertulis. Sekilas tampak bahwa dialog tersebut terjadi diantara dua orang manusia. Namun apakah itu benar adanya? Bagaimana jika dialog ini terjadi antara manusia dan mesin? lebih jauh, jawaban dari pertanyaan diatas ditulis oleh sebuah mesin. Bagaimana bisa? Akhir tahun 2022 lalu dunia dikejutkan oleh munculnya sebuah teknologi kecerdasan buatan bernama ChatGPT. Perangkat lunak ini dikembangkan dan diluncurkan pada November 2022 oleh OpenAI sebuah perusahaan perangkat lunak dari Amerika Serikat. Perangkat lunak ini merupakan sebuah chatbot (robot untuk teman berbicara) yang diciptakan dari hasil trainining dan pembelajaran mesin terhadap beragam bentuk model komunikasi. Mesin ini melatih diri dari proses pembelajaran sebelumnya (transfer learning). ChatGPT ini dilatih untuk mengikuti instruksi yang diberikan oleh pengguna dan memberi respon sealamiah mungkin, detil serta menggunakan gaya bahasa resmi. Teknologi ini senada dengan produk Siri dari Apple atau Voice assistant dari Google. Perbedaanya adalah chatbot ini memberikan hasil yang detil dan menjawab pertanyaan yang disampaikan dengan gaya sederhana seperti contoh dialog diatas. Sepintas tidak ada yang luar biasa dari teknologi ini. Sebagaimana perkembangan teknologi secara umum yang semakin canggih untuk membantu dan memudahkan hidup umat manusia.
Sampai pada suatu ketika muncul sebuah tulisan di jurnal prestisius Nature terbit tanggal 12 Januari 2023 (https://www.nature.com/articles/d41586-023-00056-7) berjudul “Abstracts written by ChatGPT fool scientists”. Pada artikel ini disimpulkan bahwa peneliti-peneliti ‘manusia’ tidak bisa membedakan abstrak yang ditulis oleh manusia dan abstrak yang ditulis oleh mesin ChatGPT. Luar biasa bukan? Manusia sudah bisa dikelabui oleh mesin ciptaan mereka sendiri bahkan oleh kalangan yang dekat dengan pengembangan teknologi itu sendiri yaitu para peneliti. Ketika sebuah artikel penelitian sudah bisa dibuat oleh mesin tanpa ada campur tangan manusia dengan hasil yang menyamai kualitas dari abstrak tulisan manusia, disini sisi orisinalitas sebuah keilmuan mulai dipertanyakan. Lebih jauh kemampuan untuk meniru tanpa memberi kontribusi keilmuan adalah bahaya besar bagi semua karya terutama berkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal, keaslian sebuah karya dibentuk dari perjalanan panjang sebuah proses pembelajaran. Alur tulisan yang indah, rapi, menarik minat pembaca terutama mudah untuk dimengerti dihasilkan dari latihan-latihan yang panjang, kegagalan yang diperbaiki terus menerus. Kemampuan interaksi secara verbal dan visual juga terlahir dari keterbiasaan pelaku dalam melakukan tugas tersebut sehari-hari. Seorang insinyur akan sangat ahli dibidangnya dikarenakan permasalahan keteknikan yang berulang-ulang kali dihadapi dalam keseharian. Tenaga medis seperti dokter dan perawat memiliki kemampuan yang tajam diakibatkan dari keterpaparan mereka dengan problematika kesehatan sehari-hari. Ibarat sebuah pisau, semakin tajam dikarenakan sering diasah dan digunakan. Manusia semakin belajar akan semakin tajam, ibarat kelapa, makin tua semakin berminyak.
Pendidikan pun muncul dan beragam jalur berkembang untuk menjadikan seorang manusia menjadi semakin baik. Beragam jenis ujianpun dikembangkan untuk memvalidasi hasil proses pendidikan tadi. Beragam kemudahan hidup lahir dan diadopsi secara besar besaran, kualitas hidup semakin meningkat. Semua itu berkat hasil pendidikan tadi. Mesin menjadi salah satu hasil ciptaan manusia yang banyak merubah gaya hidup. Perkembangan mesin ciptaan manusia lahir dari sejak masih berbentuk rangkaian manual, penggunaan tekanan uap, menggunakan bahan bakar minyak sampai dengan saat ini mesin yang berwujud perangkat lunak. Saat ini mesin-mesin ciptaan manusia tadi memiliki kemampuan untuk belajar seperti empu penciptanya. Kecerdasan manusia yang terlihat dalam bentuk keterampilan tadi bisa ditiru dengan hampir sempurna oleh sebuah mesin yang manusia ciptakan sendiri. Kecerdasan manusia yang ditiru oleh mesin inilah dikenal sebagai kecerdasan buatan atau lebih dikenal dengan artificial intelligence (AI).
Secara umum, validasi tulisan ilmiah selalu harus lolos uji dari proses penilaian blind-peer review (penilaian rekan sejawat namun tanpa identitas diketahui). Dari proses ini akan diberi saran, kritikan dan masukan terhada manuskrip ilmiah sehingga mencapai standar kualitas yang mumpuni untuk dipublikasikan ke masyarakat umum. Media massa seperti koran, buku, radio dan televisi mungkin mengenalnya dengan istilah editorial. Apa yang terjadi ketika sebuah mesin sudah bisa meniru dan menghasilkan sebuah tulisan yang berkesan realistis dan cerdas seperti normalnya ditulis oleh manusia? Proses memalsukan hasil penelitian pun dimungkin bisa sangat mudah terjadi. Penelitian tidak dilaksanakan namun mesin cerdas tadi bisa membuatkan laporan penelitian yang meyakinkan reviewer. Hal yang patut dilihat lebih jauh karena sudah merembet ke ranah etika dan hasilnya akan lari ke moral dalam mengembangkan pengetahuan serta penyebaran informasi ke masyarakat umum.
Kalangan ilmuan pun berdebat mengenai hal ini, ada yang menganggap sebagai bentuk gebrakan perubahan dengan mengakomodir mesin ini sebagai penulis kolaborasi dan memasukkannya dalam daftar penulis sebuah artikel, namun banyak juga menentang dan melarang teknologi ini diadopsi seperti dikabarkan oleh koran terbitan Inggris the Guardian yang berjudul “Science journals ban listing of ChatGPT as co-author on papers” terbitan 26 Janurai 2023. Perdebatan yang masih panjang, namun penetrasi teknologi tidak dapat terbendung dan manusia sebagai konsumen pada akhirnya akan mencerna dan memiliki opini akan sebuah topik.
Kehadiran chatGPT atau aplikasi sejenis tentu akan berpengaruh terhadap cara dan kemampuan kita dalam melakukan literasi. Indonesia tentunya tidak bisa terlepas dari efek dari perkembangan teknologi ini. Literasi digital warga negara Indonesia menurut laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2022 mengalami peningkatan 3.54 dibandingkan tahun 2021. Hasil yang menggembirakan dimana sumberdaya manusia Indonesia telah maju dalam kecakapan digital, etika digital, keamanan digital dan budaya digital. Namun apakah manusia Indonesia memang demikian adanya? apa peningkatan ini hanya terjadi dikarenakan penetrasi mendadak teknologi dikarenakan “lockdown pandemi” dan budaya “Working from Home” sehingga langganan digital dalam bentuk apapun mendadak naik? Apakah ini juga menggambarkan bahwa warga negara Indonesia mampu mencerna dengan baik dan menyaring informasi dengan benar dengan status kenaikan indek literasi digital ini?
Pertanyaan terakhir mengenai kemampuan mencerna dan menyaring informasi berkait erat dengan bagaimana sebuah informasi tadi dibentuk dan disebarkanluaskan ke masyarakat. Jika berkaca ke negara maju seperti contoh Inggris ( https://medialandscapes.org/country/united-kingdom/media/print), literasi digital ini masih bisa diperdebatkan. Berdasarkan laporan status Literasi Digital tahun 2022 diatas, masyarakat Indonesia memilih mendapatkan informasi melalui media sosial direntang lebih besar dari 70%. Sementara itu yang memilih media koran, majalah, publikasi ilmiah dan sejenisnya berada direntang 16% s.d 21%, berada di urutan ketiga terbawah. Disini bisa dilihat bahwa media dengan material teruji secara editorial dan ditelaah dengan cermat menjadi sebuah publikasi tidak menjadi pilihan utama bagi warga Indonesia. Di sisi lain media sosial yang masih dipertanyakan editorial dan keabsahan informasinya dilaporakan sangat dipilih sebagai moda untuk mendapatkan informasi. Potensi dan resiko penyebaran informasi palsu atau hoax sangat besar dalam hal ini. Kepercayaan terdapat informasi yang didapatkan dari mode penyebar informasi juga tidak menempatkan publikasi dengan editorial dan review materi yang mempuni pada urutan teratas. Televisi nasional sebagai media yang paling dipercaya dan kembali media sosial tetap di urutan atas yaitu nomor dua. Sebuah tantangan yang sangat besar bagaimana merubah mindset masyarakat kita supaya literasi digitalnya teredukasi dengan baik.
Lalu bagaimana dengan masyarakat Riau sendiri dalam hal literasi digital ini? Berdasarkan laporan yang sama, Provinsi Riau tidak masuk 15 besar provinsi dengan tingkat digital literasi tinggi. Riau masih kalah dengan Kepulauan Riau yang berada pada posisi nomor dua tahun 2022 yang naik cukup drastis dari urutan nomor sembilan tahun 2021 lalu. Namun demikian, di dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Riau termasuk daerah dengan kenaikan tinggi sebesar 0.27 bersama dengan Maluku Utara dan Kalimantan Selatan. Pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah dan masyarakat Riau agar literasi dan edukasi digital ini semakin baik dan berkualitas. Apalagi menjelang tahun-tahun politik seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan anggita legislatif, dan pemilihan presiden. Memilih dan memilah sumber informasi yang benar harus menjadi perhatian sebelum dicerna apalagi sampai disebarluaskan.
Kembali ke berbagai aplikasi pintar seperti ChatGPT dengan kemampuannya yang dapat memberikan informasi yang begitu alamiah yang “dirasa dianggap cocok dan benar”. Sehingga ada sebagian orang menganggap bahwa sumber dari media internet atau digital “dianggap sebagai sebuah kebenaran”. Padahal, aplikasi buatan manusia ini bisa saja memberikan ruang bagi mesin secara cerdas untuk membentuk informasi yang salah atau tidak tepat. Informasi keliru atau tidak pas ini jika disebarkan ke masyarakat akan menjadi bahaya besar karena tidak ada yang bisa mempertanggungjawabkannya. Masyarakat dengan literasi digital yang baik tentunya mampu untuk memilah dan menyaring beragam informasi dan memilih sumber informasi yang memiliki keabsahan. Masyarakat yang teredukasi dengan baik akan dengan kritis bahwa informasi yang mereka terima itu adalah benar adanya karena ada pihak dibalik itu yang melakukan proses editorial dan reviu sebelum disebarkan.
Hal lain yang perlu ditekankan dalam pencernaan informasi oleh masyarakat tidak hanya dalam bentuk digital tapi juga dalam bentuk media non-digital. Banyak sumber informasi yang diolah melalui proses editorial yang benar dan telah dikritisi sebelum dipublikasi oleh manusia. Dimasa depan dengan semakin berkembangnya bidang Responsible AI dan masyarakat yang teredukasi dengan literasi yang baik, mesin-mesin buatan manusia ini diharapkan fungsinya sebagai kolaborator yang membantu atau peer referensi utama. Karena kecanggihan teknologi ibarat pisau bermata dua, bisa digunakan untuk kebaikan umat manusia namun juga bisa sebaliknya. Hidup manusia saat ini jauh lebih nyaman dan mudah dengan penggunaan teknologi yang mereka kembangkan ditambah dengan kemampuan kecerdasan untuk bisa belajar mandiri oleh mesin itu sendiri. Mesin dengan kecerdasan buatan mau dijadikan kawan atau lawan, semua tergantung dengan literasi dan edukasi yang terus ditingkatkan. Satu hal sederhana yang bisa dilakukan adalah, kritisi sebelum disitasi, sabar sebelum sebar, serta saring sebelum sharing.**
*Staf Pengajar Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Caltex Riau