Berita TerbaruPendapat

Bank Sampah Solusi Sampah

Prama Widayat *)

PERMASALAHAN yang sering dan bahkan hampir terjadi di depan mata kita sendiri, seperti permasalahan sampah yang semakin hari semakin memprihatinkan. Ada yang peduli dengan menjadi relawan dan mengajak masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, ada yang membantu menyediakan tong sampah di tempat keramaian, atau yang mengajak masyarakat untuk mengurangi pemakaian bahan sekali pakai seperti plastik kemudian menyarankan lebih baik menggunakan tas kain.

Sampah plastik menjadi masalah besar dunia saat ini karena mengancam keselamatan bumi dan mencari cara untuk mengurangi limbah plastik yang merusak ekosistem, bagaimana tumpukan sampah plastik bisa menghambat aliran sungai yang pada akhirnya mengakibatkan banjir bahkan bisa merusak ekosistem laut. Di mana Indonesia masuk sebagai negara penghasil sampah plastik nomor 11 di dunia dengan jumlah sampah 5.045.714 ton per tahun.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa jumlah sampah Indonesia tahun 2019 sebanyak 67 Juta ton, dengan jumlah tersebut terdapat 15%-nya merupakan sampah plastik atau sebanyak 10,1 juta ton, diperkirakan sebanyak 3,2 juta ton merupakan sedotan plastik. Sesuai juga dengan dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sampah plastik Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. 

Ragam sampah

Adapun jenis-jenis sampah plastik yang dominan di dunia termasuk juga di Indonesia saat ini yaitu: pertama puntung rokok. Berdasarkan kelompok konservasi kelautan, Ocean Conservancy yang berbasis di Washington DC bahwa sampah paling banyak ditemukan di laut adalah puntung rokok. Pengumpulan sampah mereka mulai tahun 1986 dan telah mengumpulkan 60 juta puntung rokok hanya di sekitar pantai Washington DC. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa ini merupakan kebiasaan jutaan orang. Ada dua pertiga puntung rokok ditemukan di selokan dan trotoar. Ada 6 triliun rokok diproduksi setiap tahun dan lebih dari 90 persen filternya mengandung plastik. Menurut Elizabeth yang bekerja di kebijakan pengendalian tembakau Universitas California San Fransisco bahwa “filter rokok” tersebut butuh waktu 1 dekade untuk diuraikan karena mengandung selulosa asetat (kompas.com). Banyaknya puntung rokok marak terjadi di setiap daerah karena setiap hari jumlah perokok juga bertambah tetapi tidak diiringi oleh kesadaran membuang sampah.

Kedua, kemasan makanan. Selama tahun 2015, Our World in data menghasilkan berbagai jenis sampah yang paling banyak di dunia, maka sampah jenis kemasan makanan dan minuman mencapai 146 juta ton per tahun. Sepertinya hal ini juga rata-rata terjadi di Indonesia termasuk juga di Provinsi Riau.

Ketiga, plastik kresek. Laporan dari Sintesis yang dikeluarkan oleh World Bank tahun 2018 bahwa di Jakarta ditemukan bahwa sampah kresek sangat mendominasi, dengan jumlah sebesar 21,6 persen dari total sampah yang ada di DKI Jakarta, dan ini yang mengotori sungai di Jakarta. Hal ini juga marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia termasuk juga di Provinsi Riau.

Keempat, sedotan plastik. Data World Bank 2018 bahwa jumlah sedotan plastik masuk dalam lima jenis sampah yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Organisasi Divers Clean Action (DCA) menyebutkan bahwa sampah sedotan plastik di Indonesia mencapai lebih dari 93,2 juta per hari. Sedotan plastik ini butuh 500 tahun untuk bisa diuraikan secara alami. 

Kelima, Styrofoam. Akhir-akhir ini masyarakat semakin banyak menggunakan Styrofoam untuk bungkusan makanan, seperti nasi goreng, mie goreng, bubur ayam, dan lainnya. Namun kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya sangat rendah, banyak ditemukan Styrofoam mengotori jalanan. Padahal butuh waktu lebih dari 80 tahun untuk mengurainya secara alami, bahkan pendapat lain mengatakan bahan ini tidak bisa diuraikan di dalam tanah.

Saat ini sampah-sampah tersebut dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau tempat pembuangan sampah terpadu (TPST), ini hanyalah solusi jangka pendek dan tidak bisa dijadikan solusi jangka panjang karena daya tampung TPA atau TPST semakin hari semakin berkurang termasuk ketersediaan lahan juga semakin tipis dan sempit. Belum lagi keberadaan TPA atau TPST jangan dekat dengan perumahan masyarakat karena akan berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat. Berikut gambaran sampah yang ada di Provinsi Riau dari data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017-2018 :

Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 bahwa kota Pekanbaru menempati urutan paling atas sebagai Kota penghasil sampah terbesar di Provinsi Riau yaitu 754,20 Ton/Hari, maka dari itu butuh penanganan khusus dalam mengatasi ini, baik dari sisi institusi pengelola maupun sumber daya manusia yang mengelolanya. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan bahwa sampah yang dikelola itu terdiri dari : sampah rumah tangga, sampah sejenis rumah tangga dan sampah spesifik. Kemudian untuk lebih spesifiknya dalam pengelolaan sampah rumah tangga ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 3 juga disebutkan Pengelolaan sampah ini berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan dan asas nilai ekonomi. Namun kenyataannya ini tidak berjalan sebagaimana mestinya karena permasalahan sampah ini masih menjadi problem akut di kota Pekanbaru.  

Bank sampah 

Tentunya dari permasalahan ini, muncul kepedulian dari segelintir masyarakat untuk mengatasi sampah ini, sehingga memotivasi mereka untuk membentuk bank sampah dan ini perlu didukung oleh pemerintah daerah karena sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 6 bahwa pemerintah daerah itu memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penangangan dan pemanfaatan sampah. Hadirnya bank sampah sebagai salah satu solusi atas permasalahan sampah yang semakin hari semakin menumpuk dan keterbatasan area TPA sebagai tempat penampungan sampah. Untuk itu bank sampah ini perlu pembinaan dan pengawasan kinerja dari pemerintah Kabupaten atau Kota sesuai dengan amanat UU Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 9 Ayat c.

Keinginan masyarakat secara swadaya membangun bank sampah ini merupakan langkah baik yang perlu diapresiasi oleh pemerintah karena sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 11 Ayat 1 bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari pemerintah, pemerintah daerah dan atau pihak lain yang diberikan tanggung jawab untuk itu. Artinya pemerintah wajib memberikan perhatikan dan bantuan kepada warganya yang sudah sukarela membantu mengelola sampah ini, termasuk memberikan kemudahan proses perizinan (UU Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 17 Ayat 1).

Dengan program bank sampah diharapkan mengurangi beban TPA sehingga sampah plastik bisa diserahkan kepada Bank sampah. Dengan program 3 R (Reuse, Reduce, Recycle) bisa mengurangi penggunaan plastik.

Dengan Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih bisa digunakan beberapa kali seperti menggunakan serbet dari kain daripada menggunakan tissue, menggunakan wadah bekas minuman kaleng dijadikan tempat menampung minyak goreng, jual dan berikan sampah yang sudah dipilah kepada pihak yang memerlukan seperti bank sampah

Dengan Reduce berarti mengurangi sesuatu yang dapat menjadi sampah seperti berikut ini yaitu menggunakan produk yang bisa diisi ulang seperti botol air mineral, hindari memakai dan membeli produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar, kurangi menggunakan bahan sekali pakai dan gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan atau fotocopi

Dengan Recycle berarti mengolah kembali sampah menjadi barang yang bermanfaat seperti mengolah sampah organik (daun, potongan sayur, cabe, rumput) untuk dijadikan kompos dan food composting, olah sampah kertas menjadi kertas atau karton, lakukan pengolahan sampah non organik menjadi barang yang bernilai ekonomis seperti tas, dompet, alas meja, paving blok dan lainnya.

Pada proses Recycle ini bank sampah membuat berbagai produk dari sampah non organik seperti tas, dompet, rak sepatu dan lainnya namun mereka kesulitan dalam hal pemasaran produk ini padahal ini kewajiban pemerintah untuk membantu memasarkan produk-produk daur ulang (UU No. 8 Tahun 2008 Pasal 20 Ayat 2e) seperti memanfaatkan tas daur ulang sebagai tas peserta diklat yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, provinsi hingga Kabupaten/Kota tetapi pada kenyataannya ini tidak terjadi. Bahkan pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah (UU No. 8 Tahun 2008 Pasal 21).

Di bank sampah ini dilakukan proses pemilahan dan pengelompokan sampah berdasarkan jenisnya, ini sejalan dengan UU No. 8 Tahun 2008 Pasal 22 Ayat 1a. Bank sampah ini bisa berbentuk badan usaha seperti yayasan, CV ataupun PT dan bermitra dengan pemerintah (UU No. 8 Tahun 2008 Pasal 27 Ayat 1).

Tidak banyak memang individu yang mau mengabdikan hidupnya untuk terjun dalam sebuah organisasi yang bisa dikatakan bukan organisasi komersil murni tetapi juga punya misi sosial. Butuh motivasi yang kuat untuk meyakinkan diri agar mau tergabung dalam bank sampah karena pada dasarnya motivasi manusia dalam bekerja adalah untuk mendapatkan bayaran atas apa yang sudah dia berikan bagi perusahaan ataupun tempat dimana dia bekerja. Bisa dikatakan mereka yang mendirikan bank sampah merupakan bagian dari aktualisasi diri dimana dengan tujuannya menjaga lingkungan.

Untuk itu keberadaan bank sampah juga perlu mendapatkan dukungan dari segenap lapisan masyarakat dimulai dari RT, RW, kelurahan atau desa, Kecamatan, Bupati atau Walikota hingga Gubernur. Paling minimnya adalah dukungan dari RT karena dukungan sosial ini lebih memberikan semangat kepada mereka yang mengelola bank sampah. Karena lingkup RT adalah lingkungan masyarakat yang terkecil dari sebuah tatanan negara dan perubahan bisa dimulai dari level lingkungan RT.

Dengan adanya swadaya masyarakat dalam membentuk bank sampah bukan berarti pemerintah bisa berlepas tangan begitu saja. Perlu konsolidasi dengan berbagai pihak agar terjadi sinergi antara bank sampah, pemerintah dan pihak perusahaan melalui program CSR yang dimiliki. Namanya swadaya tentu berdiri dengan apa adanya dan sangat minim dalam hal manajemen dan ketersedian alat operasional seperti sarung tangan, sepatu boot, masker, timbangan dan alat transportasi yang jika ditotalkan bisa membutuhkan biaya puluhan juta.

Saat ini di Kota Pekanbaru terdapat beberapa Bank sampah yang sudah cukup baik yaitu (1) Bank sampah Tuan Dibangarna di Jalan Bakti Marpoyan, ini didirikan secara swadaya individu, (2) Bank Sampah Dalang Collection di Tenayan Raya, ini didirikan secara swadaya individu, (3) Bank Sampah Bukit Berlian di Tampan, ini didirikan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, (4) Bank Sampah Inspirasi Madani di Jalan Adi Sucipto Kelurahan Sidomulyo Timur, ini didirikan secara swadaya Individu.

Dengan jumlah penduduk kota pekanbaru sebanyak 1,31 juta jiwa dan 326.000 kepala keluarga dimana perkiraannya setiap kepala keluarga menghasilkan 3 kg sampah setiap hari. Berarti ada 978.000 kg sampah yang dihasilkan dalam sehari di Kota Pekanbaru. Maka sangat wajar bank sampah yang sudah ada ini tidak akan mampu untuk membantu pemerintah kota pekanbaru menyelesaikan permasalahan sampah maka perlu didukung untuk berdirinya unit bank sampah hingga tingkat Rukun Warga (RW) di Kota Pekanbaru.**

*) Dosen Universitas Lancang Kuning, Direktur Bank Sampah dan Mahasiswa S3 Universitas Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button