Nasib Buruh dan Karyawan Kontrak
Oleh: Prama Widayat *
TAHUN demi tahun terus berjalan, dan tuntutan demi tuntutan juga terus ditujukan kepada pemangku kepentingan di berbagai belahan negeri. Namun pada kenyataannya kehidupan buruh tidak lebih baik dari tahun ke tahun, berganti pemimpin maka berganti pula kebijakan tetapi tetap buruh sebagai objek eksploitasi. Jika bicara kesejahteraan, maka hal ini masih jauh dari harapan karena terlalu jauh gap antara mimpi dan realita.
Saat kondisi keuangan perusahaan tempat buruh bekerja mengalami defisit maka solusinya adalah pengurangan karyawan atau bahasa halusnya di rumahkan sementara waktu. Iya, memang terdengar sangat halus tetapi itu seperti petaka yang dirasakan para buruh karena mereka tidak pasti kapan bisa kembali bekerja. Memang untuk bicara keadilan maka sangat jauh, kata orang “tidak akan mungkin menyenangkan semua pihak, selalu ada yang dikorbakan”.
Jika mau mengakomodir semua keinginan buruh maka pengusaha akan lari dan investor tidak mau berinvestasi di Indonesia karena upah buruh yang tinggi di Indonesia. Sederhana sekali pemikiran mereka yang berbicara seperti ini, seolah negeri ini diobral kepada investor untuk dieksploitasi sepuasnya, lalu tidak puas dengan eksploitasi sumber daya alamnya maka tenaga kerjanya juga dieksploitasi secara tidak manusiawi.
Adanya simbiosis antara buruh (pekerja) – pengusaha – pemerintah seharusnya terjadi hubungan kemitraan karena hubungan ini disebut juga tripartit dalam hubungan industrial. Dalam ketenagakerjaan ini juga seharusnya saling berdampingan, pengusaha butuh buruh untuk bekerja pada usaha mereka, buruh butuh pekerjaan untuk keluarganya, pemerintah butuh pengusaha untuk membantu membuka lapangan pekerjaan dan juga menambah pendapatan negara dari pajak.
Secara teori ini memang sangat elok dan manis sekali dibaca tetapi dalam implementasinya sangat miris, walaupun ada perusahaan yang sangat manusiawi memperlakukan karyawannya dengan memberikan hak dan kewajiban yang seimbang. Tetapi tidak semua perusahaan memberikan perlakuan yang sama terhadap para buruh karena berbagai kondisi seperti lemahnya pengawasan dari disnaker, adanya oknum disnaker yang bekerja sama dengan perusahaan, perusahaan yang di-back up oleh oknum tertentu dari penguasa dan lainnya.
Status buruh dan karyawan
Bisa kita lihat status karyawan yang bekerja pada perusahaan, ada karyawan tetap dan ada karyawan kontrak. Beruntung mereka yang statusnya karyawan tetap karena sudah permanen dan punya hak yang lebih banyak, di mana selain gaji juga punya uang pensiun. Sementara mereka yang statusnya kontrak hanya menerima gaji bulanan dan tidak ada bonus ataupun tunjangan lainnya.
Terlebih dalam UU Omnibus Law, di mana salah satu pasalnya yang krusial adalah dihapuskannya pasal 59 dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pada pasal tersebut UU Ketenagakerjaan melindungi pekerja atau buruh yang bekerja di sebuah perusahaan agar bisa diangkat menjadi karyawan tetap setelah bekerja dalam periode maksimal 2 tahun dan diperpanjang 1 kali untuk 1 tahun kedepan, artinya maksimal 3 tahun seorang karyawan punya status karyawan kontrak, setelah itu keputusannya diangkat menjadi karyawan tetap atau diputus kontraknya.
Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 “perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu”. Seperti pekerjaan, (1) sekali selesai, (2) paling lama 3 tahun, (3) pekerjaan musiman, (4) produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Sementara dalam prakteknya buruh pabrik yang sifat pekerjaanya rutin lebih dari 3 tahun, justru dibuat dengan sistem Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) alias kontrak bertahun-tahun.
Pasal 59 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 “perjanjian kerja untuk waktu tertenttu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Disini jelas jika disimpulkan bahwa maksimal dikontrak selama 3 tahun. Tetapi didalam UU Cipta Kerja pasal ini dihapuskan, dimana perusahaan yang mempekerjakan seseorang, bisa terus memperbaharui kontraknya tanpa perlu mengangkat menjadi karyawan tetap. Dengan kata lain, UU cipta kerja memberikan izin atau kesempatan kepada perusahaan untuk mengontrak karyawan seumur hidup.
Aturan ini berlaku bagi seluruh perusahaan yang ada di Indonesia, mulai dari buruh pabrik, industri manufaktur dan juga karyawan kantoran. Dihapusnya pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 ini membuat seseorang akan menjadi karyawan kontrak seumur hidup. Inilah yang sangat merugikan kaum buruh dan juga para karyawan, bagi perusahaan ini sangat menguntungkan karena mereka tidak perlu mengangkat karyawan tetap yang akan membebani mereka secara financial, cukup dikontrak setiap tahunnya dan jika tidak dibutuhkan lagi maka bisa putus kontrak dan mencari tenaga baru yang lebih fresh.
Momen peringatan hari buruh setiap tanggal 1 Mei seolah hanya menjadi rutinitas tahunan, unjuk rasa dilakukan bukan hanya di Indonesia tetapi juga diberbagai belahan dunia ini. Setiap tahun buruh selalu menuntut perbaikan kesejahteraan, melalui upah minimum sesuai daerah masing-masing, tetapi tahun ini diperberat lagi dengan UU Cipta kerja yang memungkinkan mereka menjadi tenaga kontrak seumur hidup. Lantas apakah para karyawan juga terkena dampaknya, maka sangat jelas karena ini berlaku juga bagi para karyawan karena UU Cipta Kerja berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Jika diambil point utama dari kehidupan buruh ada pada 2 (dua) hal, pertama kesejahteraan yang dilihat dari upah, kedua status kerja yang dilihat dari status tetap atau kontrak. Sebenarnya sangat sederhana tuntutan buruh yaitu upah yang layak dan punya status sebagai buruh atau karyawan tetap. Namun bagi perusahaan ini dianggap beban yang akan menggrogoti keuangan perusahaan, hal ini terjadi karena perusahaan masih menggunakan sudut pandang sumber daya manusia. Jika perusahaan sudah menggunakan prinsip human capital management (HCM) maka manusia yang bekerja pada perusahaan bukan lagi beban tetapi sudah dianggap aset yang punya nilai dan akan memberikan.
Sayangnya HCM belum dipahami oleh semua perusahaan atau malahan mereka sebenarnya mengetahui tetapi enggan menerapkannya karena jauh sebelum UU Cipta Kerja ini disahkan, praktek penggunaan karyawan kontrak bertahun-tahun justru tumbuh subur dikalangan pekerja, mereka tidak punya kuasa menolak atau melaporkan kepada disnaker karena mereka buruh atau pekerja itu butuh uang sehingga lebih memilih diam menerima nasib sambil berharap keadaan berubah.
Lagi-lagi harapan itu sirna ketika muncul UU Cipta Kerja yang akan memperpanjang derita kaum buruh dan karyawan, nasib akan menjadi tenaga kontrak hingga akhir hayat. Bagi mereka yang punya penghasilan besar tentunya tidak akan ambil pusing dengan dihapusnya pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tetapi bagi mereka yang punya penghasilan emergency, ini menjadi petaka. Disinilah pemerintah perlu hadir untuk melindungi para buruh dan pekerja, jangan hanya memikirkan kepentingan investor ataupun pengusaha karena negeri ini kaya dan tidak perlu diobral murah dengan mengorbankan SDA dan SDM.**
- Mahasiswa Program Doktor Manajemen Unri dan Dosen Manajemen Universitas Lancang Kuning