Transformasi Rumah Jahit Lestari: Dari Penerima Manfaat Menjadi Penggerak Ekonomi Komunitas
Narasi dan Foto: Abbas Abdurrahman
MESIN-MESIN JAHIT tak berhenti menderu di sebuah ruko di Kecamatan Bathin Solapan, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, layaknya melodi kemandirian. Di balik tumpukan kain wearpack (bahan baju aman tahan api) yang kini menembus produksi 50 helai baju per hari, tersemat kisah inspiratif tentang keberanian seorang mantan akademisi dengan filosofi inklusivitas yang merangkul mereka yang selama ini terpinggirkan.
Inilah Rumah Jahit Lestari (RJL), yang bukan sekadar konveksi, melainkan sebuah pusat pemberdayaan yang berhasil bertransformasi dari penerima bantuan menjadi pemberi manfaat bagi komunitasnya.

Pendirinya, Suci Sustari, adalah sosok yang berani mengambil risiko besar. Pada 27 Mei 2021, bersama suaminya, Yan Sofyan, ia meninggalkan kariernya sebagai dosen di Palembang untuk mengikuti suami yang pindah kerja ke Duri. Di tengah situasi baru, Suci melihat peluang di balik kebutuhan seragam kerja perusahaan migas, sekaligus menangkap sebuah keresahan sosial.
Keresahan itu muncul dari realitas di Duri: sulitnya anak-anak putus sekolah, terutama perempuan, untuk mendapatkan pekerjaan karena terhalang syarat ijazah. “Menjahit itu tidak ada hubungannya dengan ijazah,” tegas Suci, Rabu 24 September 2025 saat saya dan beberapa wartawan berkunjung ke tempatnya.
Tangan Perusahaan yang Mengulurkan Bantuan
Awali mula RJL adalah perjuangan murni. Modal minim, hanya mampu menyewa satu ruko sederhana, dan pemasaran yang dilakukan Suci dan suaminya hanya bermodalkan motor. Suci sendiri bahkan harus belajar menjahit secara autodidak melalui kanal Youtube. Namun, tekadnya yang kuat untuk menciptakan model bisnis yang punya dampak sosial ketika mengajukan penawaran ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja (WK) Rokan.
Pada tahun 2021, 2022, dan 2023, RJL menerima sentuhan penting melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT PHR. Bantuan ini tidak hanya berupa kucuran dana, tetapi juga pengadaan peralatan produksi —termasuk 5 unit mesin jahit awal— serta pelatihan dan pendampingan bisnis yang intensif. Bantuan ini menjadi katalis yang mengubah RJL dari usaha rumahan menjadi konveksi berskala regional. Dalam waktu singkat, RJL menyewa tiga ruko berdekatan. Kapasitas produksinya melonjak drastis, mampu memenuhi pesanan wearpack yang tidak hanya dari Riau, tetapi juga dari provinsi lain di Indonesia.

Transformasi inilah yang membuat RJL diakui sebagai kisah sukses kemitraan. Ia membuktikan bahwa dukungan strategis dari perusahaan besar mampu menumbuhkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal menjadi entitas yang mandiri dan kompetitif.
Ekspansi hingga Papua
Tak sekadar menerima dan mencari order jahitan dari wilayah Riau, RJL merambah provinsi lain di Indonesia. Suci menjelaskan, pelanggan mereka sudah mencapai 184. Jumlah itu tersebar di berbagai pulau di Indonesia, bahkan hingga Papua.
“Kami juga pernah membuatkan rompi untuk Presiden Joko Widodo, dan rompi untuk 13 menteri kabinet RI,” ujarnya, terdengar bangga.

Pesanan itu juga tak terbatas hanya pakaian untuk pekerja migas, RJL juga menerima dan telah membuat seragam untuk beberapa sekolah.
Suci mengungkap sejumlah resep ekspansi usahanya. Ia berani bersaing harga dengan mengambil hanya sedikit keuntungan. Baginya keberlanjutan pesanan lebih penting daripada untung besar namun hanya didapatkan sekali saja.
Karena itu pula Suci berani memberikan layanan bebas ongkos kirim dari bandara ke bandara, serta garansi selama 6 bulan. “Jika ada jahitan yang lepas, kancing yang tanggal, selama dalam masa garansi kami akan perbaiki tanpa biaya,” ujarnya.
RJL juga terus meningkatkan kualitasnya, baik tenaga kerja maupun hasil produksi. Suci mengatakan, melalui bantuan PHR tahun 2024, sebanyak 20 orang karyawan RJL mendapatkan sertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikasi pekerja ini penting bagi RJL karena mereka tahun ini fokus mengupayakan sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Baju kita bukan baju bisa. Kita juga menggunakan mesin jahit dengan dua dan tiga jarum. Jadi standar komponen dalam negeri dan standar nasional itu penting bagi kita,” kata Suci.
Inklusivitas: Pilar Utama Pemberi Manfaat
Jantung transformasi RJL dari penerima menjadi pemberi manfaat terletak pada inklusivitas model bisnisnya. Bagi Suci, usahanya adalah sarana untuk menanamkan nilai kebermanfaatan dan kontribusi terhadap lingkungan sekitar, bukan semata-mata mencari uang.
RJL menyediakan lingkungan kerja yang unik, menampung 80 tenaga kerja dari berbagai latar belakang. “Total karyawan dan mitra supply ada 86 orang, sudah include tim marketing,” ucap Suci.
Saat ini, RJL menampung 4 orang anak putus sekolah, yang terdiri dari 1 perempuan dan 3 laki-laki. RJL juga menerima anak-anak magang yang tengah mengambil Paket C. Mereka dilatih menjahit dari nol, mendapatkan keahlian tanpa harus memiliki ijazah resmi.

Selain itu, juga 16 orang ibu rumah tangga. Sebagian ibu-ibu rumah tangga ini diberdayakan melalui sistem jahit di rumah masing-masing, memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan signifikan tanpa mengorbankan peran domestik.
Sebelumnya, tahun 2024 lalu RJL mempekerjakan disabilitas dan lanjut usia (lansia). RJL secara sadar merangkul pekerja yang sering dianaktirikan pasar, seperti Juari (26), seorang penyandang disabilitas, dan Pak Zul alias Atuk (67), pekerja lanjut usia (lansia). Suci memastikan bahwa keberadaan mereka di RJL bukan karena kasihan, melainkan karena mereka dinilai mampu bekerja dengan standar yang baik.
“Rumah Jahit Lestari ini saya dirikan dengan konsep berbagi, Pak. Berbagi itu maksudnya Rumah Jahit Lestari itu berjalan secara inklusif. Inklusivitas itu dia tidak memandang usia,” terang Suci.
Hebatnya, hari ini Juari berhasil mandiri. “Juari, yang disabilitas, sudah tidak bekerja di RJL lagi. Ia sudah kembali ke kampungnya (di Rokan Hilir, Riau) dan membuka usaha jahit di sana,” terang Suci. “Sedangkan Atuk sudah wafat beberapa bulan lalu.”
Kemandirian karyawan mendapatkan perhatian khusus dari RJL. Kata Suci, mereka menerapkan beberapa skenario untuk itu. Pertama, Mandiri, di mana tenaga kerja ketika sudah mahir boleh buka sendiri.
lalu Semi-Mandiri. Tenaga kerja boleh bekerja di rumah tapi mesin jahit dibawa atau dipinjamkan dari RJL. Mesin ini boleh dicicil dengan potongan berkisar 5000-20.000 per baju. Angsuran bisa sampai beberapa bulan baru lunas.
“Setelah lunas, mereka mau lanjut di RJL tak apa-apa, mau lepas juga tak apa-apa,” ungkap Suci.
Skenario ketiga adalah Pinjam Pakai Mesin. Tenaga kerja mendapatkan pinjaman mesin dan mendapatkan pekerjaan dari RJL. Mereka tidak boleh mengambil pekerjaan selain yang diberikan oleh RJL.
Dari Konveksi ke Multi-Sektor: Merambah Pertanian dan Inspirasi
Setelah berhasil menstabilkan bisnis inti, RJL kembali memperluas peran pemberi manfaatnya di luar industri tekstil. Suci dan Yan Sofyan, yang berbagi tugas dalam mengelola RJL, mengelola lahan tak terpakai di belakang ruko mereka sebagai bentuk diversifikasi dan dukungan bagi masyarakat sekitar dalam bidang ketahanan pangan.
Mereka membangun penangkaran ikan sistem kolam terpal dan menanam tanaman produktif seperti pepaya dan pisang, serta sayur-sayuran seperti sawi dan cabai. Inisiatif multi-sektor yang dimulai sejak Juni 2024 ini membuktikan bahwa keberhasilan usaha binaan dapat meluas menjadi proyek yang membantu peningkatan gizi dan ekonomi sirkular di lingkungan terdekat.

“Tujuannya mengembangkan konsep wirausaha. Tidak hanya RJL, tetapi juga pemuda-pemuda sekitar untuk mau memulai berwirausaha,” cerita Suci ketika dihubungi kembali, Selasa, 14 Oktober 2025. “Siapapun yang mau berwirausaha berternak ikan, bisa ikut.”
Suci dan Yan Sofyan menyediakan bibit ikan, bibit tanaman, serta pupuk bagi yang berniat beternak ikan dan bertanam sayuran, sekaligus menjadi mentor dan membina mereka. Suci pun menyebut upaya ini sebagai CSR (Corporate Social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)-nya RJL.
Kegembiraan bagi Suci karena sudah ada yang memanfaatkan bibit dan pupuk itu untuk bertanam di rumah menggunakan polybag. Bahkan sudah ada yang ikut membuat kolam terpal juga meski dengan diameter kecil. “Alhamdulillah pemuda-pemuda sudah mau ikut. Bertanya tentang pupuk, tentang bibit. Mulai menanam di rumah masing-masing.”
Sedangkan tanaman di lahan yang mereka garap bersama, dimanfaatkan bersama pula. “Hasil tanaman di lahan itu tidak pernah dijual. Setiap kali panen selalu dibagi-bagikan kepada karyawan dan warga sekitar,” ujar Suci.

Selain itu, sejak 2024 RJL menjadi Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di bawah Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Dangan status itu, RJL menggelar pelatihan melalui skema Kartu Prakerja.
Tahun 2024, kami mendapatkan kuota 20 peserta. Mereka datang dari Padang (Sumatera Barat), dari Dumai, Siak, Pekanbaru, dan tentu juga dari Mandau. Karena kami punya mess karyawan, mereka bisa ikut menginap di situ selama dua minggu pelatihan,” terang Suci.
Apresiasi dari PHR
Apresiasi terhadap transformasi ini diungkapkan secara langsung oleh manajemen PHR. Keberhasilan RJL sejalan dengan tujuan perusahaan dalam menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Wildan, Senior Officer CID Zona Rokan, mengatakan, RJL menjadi pedoman social license to operate, yakni cara masyarakat mendukung operasi perusahaan migas. “Dampaknya mencakup lingkungan, ekonomi, kesejahteraan, dan sosial,” ucapnya kepada media saat berkunjung ke RJL, Rabu (24/9/2025).
Kesuksesan Rumah Jahit Lestari adalah bukti nyata bagaimana dukungan CSR dari perusahaan dapat mendorong pertumbuhan UMKM dan memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat.
Kisah RJL adalah pengingat kuat bahwa investasi sosial yang strategis dapat menghasilkan lebih dari sekadar keuntungan finansial. Ia menghasilkan kemandirian, merajut impian bagi mereka yang terpinggirkan, dan menciptakan jaring kehidupan yang lestari bagi seluruh komunitas di Duri, Riau. RJL telah menunaikan janji yang tersirat dalam namanya: menjadi Lestari—terus ada dan terus memberi manfaat.**


