Berita TerbaruBerita UtamaRiau

LAM Riau Gelar Seminar Virtual, Mendesak Pengakuan Terhadap Wilayah Adat

CAKRAWALATODAY.COM – Keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati dalam UUD 1945 (Bab VI Pasal 18B Ayat 2) dan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Seperti Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35), dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun kenyataannya, amanat konstitusi tersebut tidak selalu dijalankan dengan sepatutnya oleh penyelenggara negara, terutama kalau itu berkaitan dengan hak-hak tradisional masyarakat adat atas ruang kehidupan atau wilayah adat mereka.

Permasalahan tersebut akan dibahas dalam majelis Seminar Virtual Sempena Milad Emas Lembaga Adat Melayu Riau (6 Juni 1970 – 6 Juni 2020), dengan tajuk Kedaulatan Adat Melayu Riau Pasca Pandemi Covid-19. Seminar virtual diadakan pada pads Rabu (6/5/2020) pukul 09.00-12.00, dengan tiga narasumber yaitu Purnama Irwansyah (Staf Bappedalitbang Provinsi Riau), Riko Kurniawan (Direktur Eksekutif WALHI Riau), dan M Mardiansyah (Fakultas Pertanian Unri/ Anggota MKA LAMR).

Dalam keterangannya kepada media Sabtu (30/5/20), Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR Datuk Seri Al Azhar menjelaskan salah satu dampak dari belum maktubnya wilayah adat di Riau dalam norma hukum negara adalah banyak kelompok masyarakat adat yang berkonflik. Terutama dengan perusahaan-perusahaan yang mendapat izin dari pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam di wilayah adat mereka.

Dalam konflik-konflik itu, kelompok maupun individu masyarakat adat berada dalam posisi lemah, karena pemerintah lebih cenderung membiarkan status hukum masyarakat adat atas wilayahnya tetap menggantung. “Oleh karena itu, kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya mendesak untuk diakui dan dipastikan melalui instrumen peraturan perundang-undangan yang sudah ada,” kata Datuk Seri Al Azhar.

Menurutnya, salah satu aturan yang secara sah dapat dipakai untuk memastikan status hukum wilayah adat itu adalah Permendagri No. 52/2014 tentang “Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”. Di dalamnya disebutkan bahwa proses pengakuan itu merupakan kewenangan pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten), dengan membentuk Panitia Pengakuan dan Perlindungan, yang diketuai oleh Sekretaris Daerah (provinsi atau kabupaten/kota).

“Untuk Riau, setahu saya panitia pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dimaksud Permendagri No. 52 itu, belum ada yang dibentuk. Padahal, konflik antara masyarakat adat dengan berbagai pihak di Riau termasuk yang tertinggi jumlahnya di Indonesia, dan sebagian sudah berlangsung belasan tahun,” lanjutnya.

Dalam setiap kasus konflik itu, kepentingan masyarakat adat sering dikalahkan karena dianggap hanya memiliki dasar kultural yang faktanya belum diakui dalam sistem hukum negara. Bahkan, tidak jarang, warga atau pemangku adat menjadi terdakwa di pengadilan. Sebagai contoh, beliau menunjuk kasus terkini yang dialami Pak Bongku (seorang warga Suku Sakai Pebatinan Beringin).

Dia menebang beberapa batang eukaliptus dan akasia di belukar dekat kampungnya di Suluk Bungkal untuk membuat kebun ubi menggalo, dan lahan itu rupanya bagian dari konsesi PT Arara Abadi. Bongku diputus bersalah dan dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta oleh Pengadilan Negeri Bengkalis. Selain itu, ada pula salah seorang pemangku adat Pebatinan Petalangan Kabupaten Pelalawan yang sekarang sedang menjalani proses hukum.

Suasana hidup dalam konflik dan terancam menjadi korban karena ketidakpastian kedudukan hukum wilayah adat tersebut di Riau, menurut Datuk Seri Al Azhar, berbanding terbalik dengan ‘pesta-pora’ penikmat kebun sawit ilegal di Riau yang jumlahnya mencapai sekitar 1,4 juta hektar. Secara kultural, sebagian besar kebun sawit ilegal tersebut diperkirakan berada di wilayah adat.

Karena itu, diharapkan Satgas yang dibentuk Gubernur Riau untuk mengurai persoalan ini mengedepankan kepentingan-kepentingan masyarakat adat yang dalam sejarah Indonesia sejak Orde Baru selalu terpinggir. Instrumen-instrumen kebijakan pemerintah pusat seperti Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS), yang membuka peluang bagi pemulihan hak masyarakat adat atas hutan-tanahnya, di Riau juga terkesan berlangsung sangat lamban.

“Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menjadi sektor terdepan, seperti Dinas LHK, selama ini mengurusnya terkesan sambilewa, macam iye tak iye je,” kata Datuk Seri Al Azhar. Lebih lanjut beliau menyatakan, dalam tahun-tahun terakhir pemimpin pusat dan daerah sudah memperlihatkan keberpihakan melalui sejumlah kebijakan. Gubernur Riau bahkan sudah mencanangkan “Riau Hijau”, sebuah konsep pembangunan yang memadukan tujuan-tujuan kemanusiaan, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.

“Dalam hati kecil saya,” lanjut Datuk Seri Al Azhar, “terbetik kekhawatiran, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat itu mungkin akan terjejas oleh program pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam hutan-tanah.”

Seperti di zaman Orde Baru, menurut beliau, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, hutan-tanah Riau tidak hanya porak-poranda, tapi juga melucuti hak-hak masyarakat adat.

“Untuk itu, kita merindukan pimpinan OPD terkait, seperti Dinas LHK, yang berintegritas tinggi, inklusif-kolaboratif menafsir dengan tepat konsep dan kebijakan Riau Hijau itu, memahami dan memiliki keprihatinan yang sepatutnya terhadap kenyataan keterpinggiran masyarakat adat, memilih jalan progresif untuk mewujudkan keadilan sosial, dan tidak memandang persoalan kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya sebagai business as usual belaka,” pungkas Datuk Seri Al Azhar.**

Rilis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button